Masa Depan Pendidikan di Era New Normal
Penulis : Burhan Nudin
Status epidemi virus corona atau covid-19 menjadi pandemi secara resmi dinyatakan oleh Badan Kesehatan Dunia WHO pada kamis, 12 Maret 2020. Virus yang sangat mengacaukan tatanan kehidupan manusia di bumi sampai detik ini masih mejadi momok dan mengancam masa depan umat. Selain mengancam kesehatan manusia dengan model penularannya yang masif, namun juga mengguncang aspek perekonomian. Lebih lanjut, disrupsi pendidikan yang menjadi investasi masa depan bangsa juga terdampak cukup signifikan. Terhitung mulai 16 Maret 2020 hampir seluruh daerah di Indonesia mengubah sistem pembelajaran reguler ‘tatap muka’ menjadi ‘belajar dari rumah’ atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau study from home (SFH). Sampai kapan kondisi akan seperti ini?
Sepertinya masyarakat masih harus bersabar menunggu gerak cepat terukur dan keputusan cerdas dari pemerintah soal kebijakan pembelajaran di era new normal. Kebijakan bergulirnya tahun ajaran baru secara resmi tetap dimulai pada bulan Juli. Meski pembukaan sekolah hanya diberlakukan di wilayah zona hijau, namun persentasenya sangat sedikit, tidak lebih dari 6% dari total keseluruhan wilayah di Indonesia. Memasuki new normal, beberapa daerah menyambut rencana ini dengan beragam. Daerah-daerah yang kondisinya dinilai sudah hijau menyatakan siap membuka kembali pembelajaran di sekolah. Sementara daerah yang masih terkategori kuning atau merah, tegas menyatakan penundaan dan memilih opsi pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau daring. Namun, adanya pendekatan zonasi ini, tetap saja tak menghentikan kontroversi. Banyak masyarakat yang ragu bahwa kebijakan new normal di dunia pendidikan ini akan benar-benar aman, sekalipun di zona hijau. Terlebih faktanya, penetapan suatu daerah sebagai zona hijau tak serta-merta menunjukkan bahwa daerah tersebut benar-benar bebas dari virus Covid-19. Karena secara nasional kondisi wabah masih belum menampakkan tanda-tanda akan selesai. Sehingga potensi penyebarannya pun masih terbuka lebar.
Hal ini diperparah dengan banyaknya kebijakan kontraproduktif pemerintah yang tak menjamin virus unik ini bisa terlokalisasi di satu wilayah. Saat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan misalnya, ternyata tak didukung kebijakan jaring pengaman sosial yang kuat serta edukasi yang masif. Wajar, jika sebagian masyarakat terkesan ‘abai’ terhadap berbagai hal yang membahayakan. Ketika new normal digaungkan, masyarakat menangkapnya sebagai “kembali normal”. Sehingga pelonggaran PSBB yang menandai pemberlakuan new normal dan sejatinya ditujukan untuk menggenjot kegiatan ekonomi yang mulai terpuruk, otomatis membuat kehidupan seolah kembali seperti sebelum pandemi. Akibatnya, penambahan kasus terkonfirmasi Covid-19 mengalami lonjakan pasca peonggaran PSBB.
Inilah yang membuat sebagian masyarakat lain ketar-ketir dengan ancaman wabah gelombang ke dua. Terlebih fakta ini sudah terbukti di negara-negara yang lebih dulu menerapkan new normal, sebagaimana negara China, Korea Selatan, Finlandia, Australia, Perancis, Inggris, dan beberapa negara lainnya.Tak sedikit masyarakat di sana, termasuk anak-anak yang positif terpapar corona sesaat setelah pusat-pusat kegiatan ekonomi dan sekolah-sekolah mereka dibuka. Hingga akhirnya mereka pun kembali memberlakukan pembatasan-pembatasan. Kita tidak boleh membuat diri kita celaka, ataupun mencelakakan orang lain, la dharara wa la dhirar. Lantas, bagaimana Indonesia bisa percaya diri akan lolos dari ujian gelombang kedua wabah corona, sementara penanganan bencana di negara-negara yang disebutkan tadi jauh lebih baik dari Indonesia. Akankah pemberlakuan new normal di bidang pendidikan membawa kebaikan bagi semua? Sistem pendidikan yang diterapkan seolah benar-benar gagap dalam menghadapi keadaan. Terbukti, opsi belajar dari rumah (BDR) yang saat itu menjadi satu-satunya pilihan malah lebih menyingkap sisi lemah sistem pendidikan yang selama ini diterapkan, sekaligus memunculkan begitu banyak persoalan.
Baca juga : 7K Views di Tengah Pandemi
Visi pendidikan yang sekuler kapitalistik, kurikulum yang tak jelas arah, metode pembelajaran yang kaku, dukungan sarana dan prasarana yang sangat minim dan belum merata, membuat pendidikan di tengah pandemi menjadi hal yang terasa begitu memberatkan. Baik bagi para siswa, orang tua, maupun pihak pendidik dan sekolah. Banyak dari mereka yang stres karena tuntutan sistem yang tak jelas. Sekolah daring menjadi tambahan beban tersendiri bagi para orang tua. Baik secara ekonomi maupun mental. Mereka yang terlanjur berpikir mendidik adalah kewajiban sekolah, tiba-tiba harus bertanggung jawab penuh terhadap sekolah anaknya. Tak hanya soal pendidikan agama dan moral, tapi dengan berbagai mata pelajaran yang mereka pun tak mengerti bagaimana dan apa manfaat riilnya.
Adapun para siswa, bersekolah di tengah pandemi menjadi penderitaan tersendiri bagi mereka. Karena selain dipaksa melahap begitu banyak target pembelajaran di rumah, juga harus berhadapan dengan “guru” baru yang tak paham bagaimana mendidik dan mengajar. Baik dari sisi mental maupun kemampuan. Sementara bagi pihak pendidik dan sekolah, situasi ini juga tak serta-merta meringankan beban mereka. Bahkan situasi ini membuat mereka harus berpikir keras, karena dukungan fasilitas sangat minim, termasuk kesiapan SDM dalam melakukan adaptasi terhadap sistem pembelajaran full daring. ‘Alaa kulli haalin’, kondisi ini memang betul-betul membongkar rapuhnya sistem hidup, tak terkecuali sistem pendidikan. Jangankan saat terjadi wabah, saat normal saja, sistem pendidikan yang diterapkan memang tampak rapuh dan tak jelas arah. Secara keseluruhan, pendidikan telah kehilangan sisi strategis sebagai salah satu pilar pembangun peradaban. Jangan sampai pendidikan hanya ditempatkan sekadar sebagai pengukuh penjajahan kapitalisme global. Sebagai pencetak mesin pemutar roda industri belaka, demi memenuhi pasar industri milik para kapitalis. Itulah kenapa, kurikulum yang dibuat melulu berorientasi pada sistem vokasi. Di perguruan tinggi hal ini tampak dari konsep-konsep seperti triple helix yang dikembangkan oleh Etzkowitz & Leydesdorff atau yang sebelumnya dikenal dengan konsep link and match. Di mana output pendidikan harus matching dengan kebutuhan pasar perindustrian. Negara bahkan berperan besar dalam mendorong terjadinya kapitalisasi dan sekularisasi di bidang pendidikan ini. Harapan “mencetak generasi emas berkepribadian Islam dan berperadaban cemerlang”, kian menjauh dari ingatan. Bahkan visi seperti itu dianggap sebagai khayalan belaka. Hingga wajar, jika sistem pendidikan zaman sekarang cenderung hanya mampu mencetak output dengan skill yang itu pun sangat minimal, namun minus adab. Tak lebih dari robot yang siap dipekerjakan. Sementara urusan moral tak penting untuk diperhatikan. Pendek kata, apapun bentuk hambatannya termasuk pandemi covid-19, Pendidikan must go on.
Study from Home: Menyongsong Era Kenormalan Baru
Pertanyaan positif nan bijak seyogyanya didasari semangat memasuki era New Normal yaitu; Pelajaran apa yang didapat dari SFH untuk dijadikan modal memasuki New Normal? Apa paradigma dan praktik pendidikan era Old Normal yang harus kita tinggalkan?
Krisis yang datang secara mendadak telah membawa dinamika perubahan. Tidak satu pun pemangku kepentingan siap, dipersiapkan, dan mempersiapkan diri mengatasinya sehingga SFH masih banyak kekurangan di sana-sini. Namun, jika kita berfikir positif, banyak pelajaran berharga yang diperoleh. Praktik persekolahan yang sebelumnya mendapat porsi minimalis seperti pembelajaran jarak jauh (PJJ), home schooling, dan semacamnya menjadi sangat dominan saat ini. Tidak berlebihan jika SFH telah mengembalikan pendidikan ke hakekatnya yang esensial yaitu learning. Baik guru dan orangtua mau tidak mau harus mulai belajar dan berbenah melakukan sinergi dan adaptasi demi memaksimalkan skema PJJ tersebut.
Banyak praktisi dan pemangku kebijakan pendidikan yang berinisiatif dan unjuk kebolehan terkait potensi yang selama ini terpendam. Kegiatan webina, zoominar bersekala nasional hingga internasional gencar di selenggarakan oleh Perguruan Tinggi di Indonesia. Tidak sedikit sekolah yang menerapkan Teknologi Informasi yang sebelumnya ‘dihindari’ karena merasa tidak memiliki dukungan yang cukup dari segi biaya, fasilitas, dan kompetensi guru. Banyak orangtua siswa yang sebelumnya menitipkan sebagian besar tanggung jawab pendidikan anaknya kepada sekolah, kini menerimanya kembali. Menyadari dua esensi penting pendidikan yaitu (1) betapa berat tugas guru dan sekolah, serta (2) merekalah (orang tua) yang semestinya paling berkepentingan dan bertanggungjawab dalam pendidikan masa depan anak-anaknya.
Revolusi Mental: Membangun Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka
Segala pengalaman terbaik dari implementasi SFH jangan sampai disia-siakan karena bermimpi kembali pulang ke rumah lama. Harus disadari bahwa musibah ataukah bencana yang sekarang dialami umat manusia akan menjadikan hari esok tidak akan pernah sama lagi dengan kemarin. Yang tersedia hanyalah one way ticket. Pengalaman terbaik selama SFH harus dijadikan pelajaran, kemudian diperkaya dan diperkuat untuk dikemas menjadi strategi baru pendidikan di rumah yang baru. Untuk itu, dibutuhkan revolusi mental yang sejak dicanangkan oleh Jokowi enam tahun silam belum nampak jelas dilakukan oleh para pemangku kepentingan pendidikan di semua lini, jenjang dan wilayah.
Kini momen tepat di mana siswa memerdekakan dirinya dalam menuntut ilmu yang diperlukannya sesuai dengan kebutuhan minat, kemampuan dan cita-citanya berbasis merdeka belajar. Orangtua siswa menguatkan kedudukannya sebagai pemilik utama anak sekaligus masa depannya. Oleh karena itu, mereka perlu bahu membahu dengan sekolah dalam mengelola pembelajaran. Sudah saatnya guru menjadi guru sejati yang belajar dan membelajarkan diri sendiri dan muridnya. Pemilihan moda pembelajaran blended learning yang mengkombinasikan SFH berbasis daring dengan tatap muka bergantian dengan protokol kesehatan Covid-19 di sekolah perlu diujicobakan dengan hati-hati.
Sebagai penutup, pandemi ini membawa angin perubahan yang menuntut revolusi mental dari umat manusia pada segala lini usia di dunia khususnya Indonesia, lebih khusus lagi pemangku kepentingan pendidikan. Menjadi kurang normal jika New Normal dikelola secara Old Normal. Ke depan pasti akan semakin banyak tantangan kemanusiaan pasca covid-19 ini. Kaidah “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik” (al-Muhafadzah ala al-qodim al-shalih wal al-akhdzhu bi al-jadid al-ashlah) cukup relevan untuk mensiasati keadaaan saat ini. Tidak boleh putus asa, tetap berikhtiar, bersabar, dan tawakal serta jangan lupa bahagia untuk menjaga imunitas tubuh. Hanya saja, siapkah? Maukah? Mampukah? Ikhlaskah? Semua pihak yang wajib menjawabnya!
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!