“THE BEST CRITICAL THINKERS”
Penulis : Syaifulloh Yusuf
Dosen PAI- FIAI UII – Kepala LIC Prodi PAI
Tulisan ini bermula dari bacaan penulis tentang buku Rasionalitas Al-Qur’an (studi Kritis atas Tafsir Al-Manar). Pemikiran Muhammad Abduh yang sangat rasional sekaligus tafsir al-Manar nya Rasyid Ridha menjadi latar belakang utama dari Quraisy Syihab untuk memberikan catatan-catatan dalam karya buku Rasionalitas Al-Qur’an. Quraisy Syihab menyatakan bahwa Muhammad Abduh telah mempersempit wilayah ghaib (meniadakan hal-hal yang ghaib).
Quraisy Syihab tergelitik dengan salahsatu tafsiran ayat Al-Qur’an dari Surat An-Nisa ayat 15 dengan kata “ya’tina” yang ditafsir oleh Muhammad Rasyid Ridha. Kegelisahan akademik Qurasiy Syihab terhadap Rasyid Ridha karena telah memberikan tafsiran bahwa kata tersebut tidak digunakan dalam Al-Qur’an selain dalam keadaan yang “negatif”. Padahal dalam Surat Al-Hajj ayat 27 Allah menggunakan kata tersebut dalam hal “positif”. Proses kedatangan manusia dari penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah haji atas perintah Allah SWT baik dalam berjalan kaki maupun berkendara. Quraisy Syihab menyadari Rasyid Ridha dalam penulisan majalah Al-Manar, bisa saja Rasyid Ridha sedang dalam perjalanan dan tidak sempat menguji kebenarannya serta sudah harus naik cetak majalahnya (Syihab, 2006, p. 2).
Dalam tafsir al-Manar juga menyatakan bahwa ahli Kitab tidak hanya sebatas Yahudi dan Nasrani, tetapi juga Majusi, Shabi’in, penyembah berhala di India, Cina dan siapa saja yang serupa dengan mereka (Djuned and Mufidah, 2017, p. 1). Ahli kitab juga menurut Rasyid Ridha bukan musyrik, jadi menikahi ahli kitab perempuan itu boleh (Rifaannudin and Untung, 2019, p. 67). Rasyid Ridha juga menyoroti tentang khilafah sebagai sistem yang memperhatikan syariat Islam yang bertujuan untuk kemaslahatan dunia dan akhirat (Danis, 2019, p. 136).
Disamping itu, Rasyid Ridha tidak terlepas dari gurunya M Abduh yang mengandalkan kebebasannya dalam berfikir dan menganalisis berdasaskan analisis bahasa dan nalar yang cemerlang, walaupun tidak cenderung kepada salah satu mazhab yang empat (Sobhan, 2019). Menariknya adalah agar al-Qur’an shâlihun likulli zamân wa makân, maka Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar dapat dibaca sebagai sebuah perubahan budaya, melalui proses reintegrasi nilai dan reorientasi makna (Muhsin, 2016, p. 121).
Beberapa hal lain misalnya tentang Israiliyat, bahwa Rasyid Ridha menolak dengan tegas eksistensi isrȧịliyyȧt, baik dalam tradisi tafsir maupun hadis. Penolakannya terlihat dari kritikan yang banyak tujukan kepada tokoh-tokoh isrȧịliyyȧt, seperti Ka`b al-Akhbȧr dan Wahb ibn Munabbih (Sawaun, 2021, p. 1). Sisi lain Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat kisah Adam pada QS.al-Baqarah: 30-38 di dalam Tafsir al-Manar terbukti konsisten dengan bingkai mazhab Salaf, yakni dengan prinsip tanziih, tasliim, dan tafwiidh (Bustamam and Aisyah, 2020, p. 199).
Bahasan yang dilakukan oleh Quraisy Syihab sangat penting untuk memberikan penjelasan kepada para pembaca bahwa Quraisy Syihab berusaha menganalisis sekaligus mengkritisi (kritis itu penting)pemikiran Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar. Ia ingin memperjelas bahwa “Tafsir Al-Qur’an itu bukan Al-Qur’an”. Artinya bahwa tafsir adalah buatan manusia yang sifatnya relatif bukan mutlak (absolut). Sehingga ia tetap dapat mengkritisi tafsir-tafsir yang ada seperti tafsir Al-Manar ini.
Ungkapan penting lainnya dari Quraisy Syihab adalah untuk memberikan gambaran tentang metode dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ia juga mengungkapkan keistimewaan dari Tafsir al-Manar ini, namun juga mengomentari kelemahannya. Berusaha seimbang dalam kacamata penafsir Al-Qur’an. Intinya bahwa setinggi apapun pemikiran orang lain (dalam bentuk tafsir al-Qur’an sekalipun) dapat dikritisi oleh orang lain dalam bidangnya.
Qurasiy Syihab telah menelaah pandangan dan sikap kritis Rasyid Ridha (sebagai mufassir) terhadap mufassir-mufassir sebelumnya. Contohnya sikap kritis terhadap Muhammad Abduh, Ibnu Jarir ath-Thabari, Fakhruddin ar-Razi, az-Zamakhsyari, al-Baidhawi, Mahmud al-Alusi, Jalaluddin as-Sayuthi, dan mufassir-mufassir lainnya. Walaupun sikap kritis juga dilakukan oleh M Quraisy Syihab itu sendiri terhadap Muhammad Rasyid Ridha pada akhir pembahasan buku ini.
Pertama, Syaikh Muhammad Abduh selaku guru dari Muhammad Rasyid Ridha. Rasyid Ridha menulis buku untuk gurunya berjudul “Tarikh Al-Ustadz Al-Imam” sebagai bentuk kekagumannya kepada Abduh dalam segi budi pekerti, teguhnya beragama, ilmu pengetahuan, dan sikapnya. Namun, kekaguman Rasyid Ridha terhadap gurunya tidak lantas menghalanginya untuk bersikap kritis dan obyektif. Contoh kritis yang diungkapkan Rasyid Ridha adalah:
“Apabila pembaca melihat kekagumanku menyangkut keluasan ilmunya, serta kemantapan pengetahuannya, yang menjadikan beliau wajar untuk menerima gelar “al-Ustadz al-Imam” yang banyak disetujui masyarakat umum, namun aku mencatat terdapat kekurangan guruku dalam bidang ilmu-ilmu hadits dari segi riwayat, hafalan, dan kritik al-jarh wa at-ta’dil sebagaimana halnya ulama-ulama al-Azhar” (Ridha, 1931, p. 46).
Kedua, Ibnu Jarir ath-Thabari sebagai mufassir terdahulu yang diagungkan sekaligus dikritik keras (pedas dan tidak sedap menurut Quraisy Syihab) oleh Muhammad Rasyid Ridha. Ibnu Jarir ath-Thabari mengarang tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsiril Qur’an. Kekaguman Rasyid Ridha bahwa Ibnu Jarir merupakan sosok ahli di bidang Tafsir bil Ma’tsur (Penafsiran yang berdasarkan kepada penjelasan-penjelasan yang diperoleh dari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits nabi SAW, dan pendapat para sahabat) (Syihab, 2006, p. 153).
Kritis terhadap Ibnu Jarir ath-Thabari bermula dari hasil tafsirannya yang mengutip Riwayat perawi As-Suddi dan Ikrimah dengan redaksi secara umum bahwa Nabi Zakaria AS tidak dapat membedakan mana wahyu sebagai panggilan malaikat dan mana bisikan sebagai panggilan setan. Menurut Rasyid Ridha, bahwa hal ini seharusnya Ibnu Jarir langsung men-jarah-kan (menolak Riwayat dan menilainya secara negatif), bahkan melemparkan ke wajahnya (wajah yang dimaksud disini adalah wajah as-Suddi dan Ikrimah).
Ketiga, Fakhruddin ar-Razi sebagai pengarang tafsir Mafaatih al-Ghaib dan sekaligus mufassir yang paling banyak disoroti oleh Muhammad Rasyid Ridha. Ia kagum terhadap Fakhruddin ar-Razi, sehingga menyebut sebagai “al-Imam” sebutan bagi ar-Razi. Namun, disisi lain ia juga mengkritisi tafsiran-tafsiran ar-Razi, walaupun secara halus tidak seperti sebelumnya kepada Ibnu Jarir ath-Thabari. Dengan singkat setelah beberapa hal dikritisi oleh Rasyid Ridha, ia menyatakan bahwa semua yang dikemukakan oleh ar-Razi tidak dapat diterima, karena fanatismenya terhadap alirannya, membuat ar-Razi terbawa dan larut pada kelemahan, keruntuhan, kebathilan alirannya, padahal pemikiran ar-Razi sangat tajam dan pengetahuannya juga sangat luas.
Keempat, az-Zamakhsyari sebagai pengarang tafsir al-Kasysyaf yang dikagumi oleh Rasyid Ridha sebagai ahli Bahasa dan sastra Arab. Dibalik itu ia mengkritisi ketidaksopanan az-Zamakhsyari terhadap beberapa redaksi tafsir yang ia buat. Misalnya ketidaksopanan pada surat At-Taubah ayat 43. Menurut Rasyid Ridha bahwa az-Zamakhsyari tidak baik dan kurang sopan terhadap Rasulullah SAW atas redaksinya “Semoga Allah memaafkan Engkau”. Redaksi tersebut dikritik oleh Rasyid bahwa seharusnya tafsirnya adalah Allah mendidik dan menyampaikan maafNYA sebelum menyebut dosanya, dan hal ini merupakan puncak dari kasih sayang dan penghormatan.
Kelima, Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi merupakan pengarang tafsir al-Anwar at-Tanzil wa Asraar at-Ta’wil. Sesama penafsir yang sama sama mencetuskan ide tafsirannya, Rasyid Ridha menghargai pendapat al-Baidhawi. Namun, Rasyid Ridha juga tidak berhenti pada penghargaan padanya, dilanjutkan dengan mengkritisi tafsir tersebut, khususny dalam Surat al-Maidah ayat 51. Menurut al-Baidhawi jika berbeda agama, harus saling berjauhan ibarat menyalakan api, maka pihak lain jangan sampai melihat nyalanya api tersebut. Kritik terhadap al-Baidhawi ini disampaikan Ridha bahwa sebenarnya bukan menjauhi kaum Yahudi dan Nasrani karena berbeda agama, namun karena mereka itu memusuhi dan memerangi kaum muslimin. Sekligus didukung dengan surat al-Kaafirun ayat 6 “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Tidak ada persoalan jika berbeda agama tanpa ada permusuhan, namun jika ada permusuhan dan peperangan itulah yang bermasalah.
Keenam, Mahmud al-Alusi merupakan sosok pengarang tafsir Ruuh al-Ma’ani. Kekaguman Rasyid Ridha terletak pada pengatahuannya yang sangat luas dan penafsir terbaik di kalangan mutaakhirin. Kritik terhadap Mahmud al-Alusi bahwa al-Alusi sebagai penjiplak pendapat-pendapat ulama sebelumnya, bahkan tidak menyebutkan sumber rujukannya. Selain itu, kritik terhadap Mahmud al-Alusi pada segi kurangnya pengetahuan Bahasa. Karena Bahasa merupakan sebuah alat untuk memahami bacaan-bacaan agar tidak terdapat kekeliruan.
Ketujuh, Jalaluddin as-Sayuthi pengarang tafsir ad-Duur al- Mantsur. Penafsir ini justru menjadi salahsatu topik dalam tafsir al-Manar dengan judul “As-Sayuthi, Kepikunan, dan Kekacauannya menyangkut usia dunia dan karangannya yang berjudul (pengungkapan tentang tidak terlampuinya seribu tahun oleh umat ini)”. Secara singkat Rasyid Ridha mengkritik as-Sayuthi dengan taklid buta, yang mengkhayal dan tidak berdasar pada sumber yang jelas, bukan seorang Hafidz, bagaikan seseorang yang mengumpulkan kayu bakar di malam hari.
Minimal secara singkat terdapat dua hal yang dapat dikritik oleh Muhammad Quraisy Syihab kepada Muhammad Rasyid Ridha. Pertama, pemikiran-pemikiran Rasyid Ridha itu sebenarnya diwarnai oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Ibnu Katsir. Karena banyak sekali sanjungan-sanjungan kepada ketiganya dan banyak pendapat yang dikutipnya. Kedua, pendapat Rasyid Ridha itu tidak tentu sejalan dengan penafsir-penafsir terdahulu yang dikritiknya.
Ruang lingkup kajian Muhammad Quraisy Syihab adalah mengkritisi pendapat-pendapat Muahmmad Rasyid Ridha tentang Tafsir al-Manar dengan menciptakan karya buku berjudul Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar. Namun, beliau justru bersikap kritis juga terhadap Muhammad Rasyid Ridha dalam menilai karya nya.
Apakah para pembaca menganggap bahwa sikap kritis itu tidak penting? Tidak. Justru berfikir kritis itu sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Harapan penulis bahwa pembaca sekalian menjadi “the best critical thinkers in their respective expertise”. Semoga!
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!