Tahun Politik, Waspada Peng’kotak-kotak’an*
Penulis : Moh. Mizan Habibi
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang multikultural. Keaneka ragamannya juga dibuktikan dengan bermacam-macamnya ras, suku, agama, dan budaya. Dalam konteks politik, hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya partai yang menjadi peserta pemilu. Identitas multikultural bangsa Indonesia harus dimaknai sebagai potensi keanekaragaman yang menjadi bagian dari kekayaan nusantara.
Di sisi lain, kemajemukan bangsa Indonesia juga mempunyai potensi bagi lahirnya konflik-konflik horizontal dan sikap intoleransi. Potensi tersebut bisa jadi disebabkan karena sifat egosentris masing-masing golongan dan truth claim sepihak. Terlebih ketika musim pemilu tiba.
Saat ini, banyak anggapan bahwa 2019 merupakan tahun politik. Pernyataan tersebut didasarkan bahwa 2019 adalah tahun pemilihan anggota lagislator dan presiden beserta wakilnya. Seperti yang sudah-sudah, masa-masa pra-pemilu suhu politik terasa semakin panas. Hal tersebut disebabkan tidak jarang masing-masing pihak saling ingin dilihat ‘lebih memadai’ dan bersikap apologi terhadap partai ataupun golongannya. Sehingga secara tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap keutuhan dan kesatuan bangsa.
Sudah lama nampak di jalan-jalan: baliho, poster, dan pamflet peserta pemilu. Juga melalui forum-forum tertentu, calon lagislator maupun partai telah ramai-ramai berkampanye. Saling menunjukkan eksistensinya. Serta guna menyampaikan visi, misi, dan programnya. Di satu sisi, dalih ta’aruf atau memperkenalkan diri kepada masyarakat menjadi tujuan dilakukannya hal-hal di atas. Namun, di sisi lain, praktek-praktek tersebut berpotensi untuk membuat masyarakat terkotak-kotak. Akibatnya dari banyaknya image dan iming-iming yang ditawarkan tetapi tidak diimbangi dengan pengetahuan esensial yang luas.
Persoalan lain yang mungkin perlu dikhawatirkan adalah masyarakat menjadi bingung. Masyarakat harus dihadapkan dengan banyaknya pilihan karena tidak mengenal calon lagislator maupun partai secara mendalam. Akhirnya yang terjadi adalah mengikuti prosesnya secara “buta”. Tidak mengenal siapa yang hendak dipilihnya. Asal memilih untuk tidak dianggap golput. Memunculkan peluang terhadap pihak-pihak yang berhasil mendoktrin dan menggiringnya untuk melakukan pembenaran tunggal pada“keyakinan” politiknya.
Adanya nuansa terhadap pengkotak-kotakan dalam masyarakat akibat kampanye masing-masing partai menjelang pemilu 2019 perlu direspon. Upayanya dengan memberikan pemahaman secara komprehensif tentang “pemilu sehat” kepada masyarakat. Salah satu strategi yang mungkin bisa dilaksanakan adalah melalui pendidikan politik dengan berbasis pada multikulturalisme.
Multikulturalisme dimaknai sebagai satu pandangan untuk menerima keanekaragaman dan memunculkan sikap toleransi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri kita. Dalam upaya membangun masa depan bangsa, paham multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana. Melainkan sebagai sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan. Sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat dalam konteks keberagaman.
Secara praksis, pendidikan politik berbasis multikulturalisme dapat dilakukan melalui forum-forum yang terdapat dalam masyarakat. Materi yang disampaikan harus komprehensif: materi-materi dasar politik, politik nusantara, pemilu sehat. Juga diperkenalkannya dengan semua partai secara detail, dan materi lain yang relevan. Menghadirkan masing-masing perwakilan partai untuk melakukan dialog secara sehat, bermartabat, dan didasari dengan rasa persaudaraan. Masing-masing partai tidak hanya berkampanye untuk eksistensinya, namun juga berkampanye tentang perdamaian, persaudaraan. Para calon legislator duduk bersama untuk berdialog tentang masa depan negara atau wilayahnya. Antar calon presiden dialog strategi dan materi pengembangan untuk membangun bangsa. Bukan debat dengan aura saling serang dan emosional.
Langkah tersebut di atas merupakan salah satu gagasan alternatif untuk memberikan pengetahuan secara esensial. Tentang persoalan-persoalan terkait politik secara umum, dan pemilu 2019. Jadi bukan hanya sekedar pengetahuan tentang tata cara pencoblosan belaka. Karena memang idealnya, meskipun memiliki perspektif yang berbeda semua partai peserta pemilu bisa duduk bersama. Berdialog dengan masyarakat untuk membangun Indonesia raya, bukan untuk memperebutkan kekuasaan semata.
Sementara, hipotesis saya, saat ini, pra-pemilu tidak benar-benar dan sungguh-sungguh diorientasikan untuk membangun bangsa Indonesia untuk lebih berkembang. Jika ingin tahu alasan hipotesis saya ini, bisa diamati berita-berita dan konten-konten di media sosial. Semoga lekas sembuh. Amin. (Moh. Mizan Habibi)
*) Tulisan ini merupakan bentuk salah satu bentuk tulisan reflektif penulis yang disusun menjelang pemilu.
Kunjungi penulis klik disini
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!