Adaptasi The Hook Canvas Dalam Peningkatan Partisipasi Pembelajaran

Penulis : Mir’atun Nur Arifah

Dosen PAI- FIAI UII – Ketua Prodi PAI

 

Pembelajaran Daring

Pembelajaran daring sebenarnya bukan merupakan hal baru di dunia pendidikan khususnya di Indonesia. Pelaksanakaan pembelajaran ini mulanya menjadi salah satu model pembelajaran yang banyak diterapkan di tingkat universitas atau perguruan tinggi. Penerapan pada jenjang ini berdasarkan asumsi bahwa pembelajar di tingkat perguruan tinggi sudah memiliki kesadaran belajar dan mampu mengelola waktu dengan baik. Kedua hal tersebut menjadi modal utama pelaksanaan pembelajaran daring karna karakter pembelajarannya yang mandiri dan minim pengawasan langsung. Namun kedudukan pembelajaran daring kala itu hanya sebagai komplemen atau suplemen pelaksanaan pembelajaran luring atau tatap muka. Artinya pembelajaran luring tetap menjadi model utama yang diterapkan karna berbagai kemudahan yang dimiliki, misalnya: kemudahan untuk mengontrol peserta didik secara langsung, kemudahan untuk mengamati proses belajar, kemudahan untuk memberikan umpan balik atau penilaian, kemudahan dalam mempersiapkan bahan pembelajaran, dan berbagai kemudahan lainnya. Tahun 2020 lalu menjadi momentum yang membawa pembelajaran daring menjadi model pembelajaran yang utama pada pelaksanaan pembelajaran di Indonesia. Menyebarnya virus Covid-19 hingga menjadi pandemi memaksa seluruh jenjang pendidikan di Indonesia merubah pelaksanaan pembelajarannya menjadi daring sepenuhnya. Pada mulanya banyak lembaga pendidikan yang kesulitan untuk bisa mengikuti model pembelajaran ini karna keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki. Namun dalam perjalanannya, model pembelajaran daring tetap dapat diterapkan dengan berbagai penyesuaian terhadap kondisi masing-masing lembaga pendidikan. Masalah yang muncul dengan penerapan pembelajaran daring pada seluruh jenjang pendidikan ini adalah peserta didik pada jenjang tertentu sebenarnya belum sepenuhnya siap untuk dilepas menjadi pembelajar mandiri. Misalnya pada peserta didik dari jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah yang masih belajar untuk mengatur waktu dan belum sepenuhnya memiliki kesadaran belajar, akan mengalami kesulitan untuk mengikuti pembelajaran daring karna banyak distraksi kegiatan lain yang lebih menarik. Terlebih dalam pelaksanaan pembelajaran daring, pemantauan dari guru juga tidak maksimal karena keterbatasan untuk mengontrol peserta didik secara langsung.

The Hook Canvas

The Hook Canvas merupakan metode yang tahapannya digambarkan dalam bentuk kait. Kait ini terdiri dari empat variabel yaitu pemicu, tindakan, hadiah, dan investasi. Metode ini banyak digunakan dalam pengembangan media sosial dan game agar produk tersebut menjadi adiktif bagi pengguna. Dengan kata lain, metode ini digunakan agar pengguna aktif terlibat atau berinteraksi dengan suatu produk secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Beberapa teori yang terkait dengan metode ini diantaranya adalah teori perilaku, teori motivasi, dan teori pembentukan kebiasaan. Empat variabel yang menjadi dasar dalam metode ini pertama dimulai dengan pemicu. Pemicu merupakan dorongan dari internal maupun eskternal diri seseorang dalam melalukan suatu tindakan. Pada penggunan suatu produk, pemicu merupakan hal yang membuat pengguna menggunakan produk tersebut dan melakukan aktivitas dengannya. Tahap kedua adalah tindakan. Untuk dapat mewujudkan tindakan bagi seseorang, hal penting yang harus diperhatikan adalah memastikan agar tindakan tersebut dapat dilaksanakan dengan semudah mungkin. Karena itulah faktor-faktor seperti waktu, tenaga, dan biaya perlu ditekan seminimal mungkin. Tahap ketiga adalah hadiah. Hadiah diberikan pada seseorang yang mengambil tindakan dalam berbagai macam bentuk, misalnya bukti sosial, penguasaan pada suatu hal, ataupun penawaran khusus. Tahap keempat adalah investasi. Investasi menjadi satu bagian dalam metode untuk mendapatkan saran dari pengguna sehingga mampu meningkatkan ikatan antara pengguna dengan produk. Investasi menjadi salah satu komponen penting karena orang-orang cenderung lebih menghargai pada hal-hal yang mereka bisa terlibat langsung di dalamnya.

Adaptasi Metode

Metode Hook Canvas meskipun tidak di desain langsung untuk bidang pendidikan, namun sangat erat dengan kondisi pembelajaran pada masa kini. Saat ini, pelaksanaan pembelajaran hampir seluruhnya memanfaatkan platform atau aplikasi yang dapat menunjang pelaksanaannya. Banyak platform dikembangkan untuk mengakomodir kebutuhan pembelajar yang beragam. Selain itu, banyak pengembang produk yang pula mengembangkan aplikasi-aplikasi untuk mendorong pembelajaran agar menjadi lebih variatif. Namun hal itu saja tidak cukup untuk mewujudkan keberhasilan dalam pelaksanaan pembelajaran khusunya dalam pembelajaran daring. Perlu adanya upaya dan strategi dari guru agar peserta didik secara suka rela untuk terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran secara terus menerus. Salah satu alternatif metode yang dapat diterapkan adalah dengan mengadaptasi metode Hook Canvas dalam pelaksanaan pembelajaran. Adaptasi metode ini dengan keempat tahapnya relevan dengan upaya membangun pola kebiasaan peserta didik untuk belajar. Pada tahap pertama yaitu pemicu, dalam pelaksanaan pembelajaran guru harus merumuskan apa yang dapat menjadi pemicu peserta didiknya untuk belajar. Untuk mencari pemicu dalam mengikuti pembelajaran, guru dapat melakukan observasi dan wawancara pada peserta didik terkait apa saja yang memotivasi mereka untuk belajar dan apa hal yang berkesan dari setiap pembelajaran yang mereka ikuti. Dengan mengidentifikasi pemicu ini, guru dapat menggunakanya untuk mendesain pembelajaran yang menarik untuk peserta didik. Tahap kedua yaitu tindakan, dapat diterapkan dengan mendesain pembelajaran yang dapat diikuti oleh peserta didik dengan semudah mungkin. Kemudahan ini dapat berbentuk kemudahan akses, kemudahan dalam penggunaan platform atau aplikasi pembelajaran, maupun kemudahan untuk berkonsultasi dengan guru ketika peserta didik mengalami kendala dalam pembelajaran. Kemudahan ini akan membangun perspektif pada peserta didik bahwa mengikuti pembelajaran bukan merupakan sesuatu yang sulit.  Tahap ketiga yaitu hadiah, dapat diberikan pada peserta didik yang telah mengikuti pelaksanaan pembelajaran. Pemberian hadiah atau reward sebenarnya telah banyak digunakan dalam pembelajaran. Namun hadiah yang diberikan pada peserta didik dapat ditinjau ulang jenisnya, misalnya dengan memberikan hadiah yang sesuai dengan apa yang sedang tren dikalangan peserta didik. Contoh lainnya, di era digital seperti saat ini, hadiah yang dapat membawa pengakuan dari orang lain dapat memotivasi peserta didik untuk terus mengumpulkannya. Misalnya dengan mempromosikan pada media sosial yang dapat dilihat oleh seluruh warga sekolah. Tahap terakhir, atau tahap keempat adalah dengan memberikan kesempatan peserta didik untuk memberikan masukan, kritik, ataupun saran terkait pelaksanaan pembelajaran yang telah mereka ikuti. Melalui umpan balik ini, guru dapat terus meningkatkan dan mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan preferensi peserta didik. Tahap ini juga penting untuk membangun citra pembelajaran sehingga peserta didik yang telah mengikuti pembelajaran dapat menceritakan pengalamannya dan mampu menarik peserta didik lain. Keempat tahap tersebut merupakan langkah-langkah yang patut dicoba sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran.

 

“THE BEST CRITICAL THINKERS”

Penulis : Syaifulloh Yusuf

Dosen PAI- FIAI UII – Kepala LIC Prodi PAI

 

Tulisan ini bermula dari bacaan penulis tentang buku Rasionalitas Al-Qur’an (studi Kritis atas Tafsir Al-Manar). Pemikiran Muhammad Abduh yang sangat rasional sekaligus tafsir al-Manar nya Rasyid Ridha menjadi latar belakang utama dari Quraisy Syihab untuk memberikan catatan-catatan dalam karya buku Rasionalitas Al-Qur’an. Quraisy Syihab menyatakan bahwa Muhammad Abduh telah mempersempit wilayah ghaib (meniadakan hal-hal yang ghaib).

Quraisy Syihab tergelitik dengan salahsatu tafsiran ayat Al-Qur’an dari Surat An-Nisa ayat 15 dengan kata “ya’tina” yang ditafsir oleh Muhammad Rasyid Ridha. Kegelisahan akademik Qurasiy Syihab terhadap Rasyid Ridha karena telah memberikan tafsiran bahwa kata tersebut tidak digunakan dalam Al-Qur’an selain dalam keadaan yang “negatif”. Padahal dalam Surat Al-Hajj ayat 27 Allah menggunakan kata tersebut dalam hal “positif”. Proses kedatangan manusia dari penjuru dunia untuk melaksanakan ibadah haji atas perintah Allah SWT baik dalam berjalan kaki maupun berkendara. Quraisy Syihab menyadari Rasyid Ridha dalam penulisan majalah Al-Manar, bisa saja Rasyid Ridha sedang dalam perjalanan dan tidak sempat menguji kebenarannya serta sudah harus naik cetak majalahnya (Syihab, 2006, p. 2).

Dalam tafsir al-Manar juga menyatakan bahwa ahli Kitab tidak hanya sebatas Yahudi dan Nasrani, tetapi juga Majusi, Shabi’in, penyembah berhala di India, Cina dan siapa saja yang serupa dengan mereka (Djuned and Mufidah, 2017, p. 1). Ahli kitab juga menurut Rasyid Ridha bukan musyrik, jadi menikahi ahli kitab perempuan itu boleh (Rifaannudin and Untung, 2019, p. 67). Rasyid Ridha juga menyoroti tentang khilafah sebagai sistem yang memperhatikan syariat Islam yang bertujuan untuk kemaslahatan dunia dan akhirat (Danis, 2019, p. 136).

Disamping itu, Rasyid Ridha tidak terlepas dari gurunya M Abduh yang mengandalkan kebebasannya dalam berfikir dan menganalisis berdasaskan analisis bahasa dan nalar yang cemerlang, walaupun tidak cenderung kepada salah satu mazhab yang empat (Sobhan, 2019).  Menariknya adalah agar al-Qur’an shâlihun likulli zamân wa makân, maka Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar dapat dibaca sebagai sebuah perubahan budaya, melalui proses reintegrasi nilai dan reorientasi makna (Muhsin, 2016, p. 121).

Beberapa hal lain misalnya tentang Israiliyat, bahwa Rasyid Ridha menolak dengan tegas eksistensi isrȧịliyyȧt, baik dalam tradisi tafsir maupun hadis. Penolakannya terlihat dari kritikan yang banyak tujukan kepada tokoh-tokoh isrȧịliyyȧt, seperti Ka`b al-Akhbȧr dan Wahb ibn Munabbih (Sawaun, 2021, p. 1). Sisi lain Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat kisah Adam pada QS.al-Baqarah: 30-38 di dalam Tafsir al-Manar terbukti konsisten dengan bingkai mazhab Salaf, yakni dengan prinsip tanziih, tasliim, dan tafwiidh (Bustamam and Aisyah, 2020, p. 199).

Bahasan yang dilakukan oleh Quraisy Syihab sangat penting untuk memberikan penjelasan kepada para pembaca bahwa Quraisy Syihab berusaha menganalisis sekaligus mengkritisi (kritis itu penting)pemikiran Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar. Ia ingin memperjelas bahwa “Tafsir Al-Qur’an itu bukan Al-Qur’an”. Artinya bahwa tafsir adalah buatan manusia yang sifatnya relatif bukan mutlak (absolut). Sehingga ia tetap dapat mengkritisi tafsir-tafsir yang ada seperti tafsir Al-Manar ini.

Ungkapan penting lainnya dari Quraisy Syihab adalah untuk memberikan gambaran tentang metode dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ia juga mengungkapkan keistimewaan dari Tafsir al-Manar ini, namun juga mengomentari kelemahannya. Berusaha seimbang dalam kacamata penafsir Al-Qur’an. Intinya bahwa setinggi apapun pemikiran orang lain (dalam bentuk tafsir al-Qur’an sekalipun) dapat dikritisi oleh orang lain dalam bidangnya.

Qurasiy Syihab telah menelaah pandangan dan sikap kritis Rasyid Ridha (sebagai mufassir) terhadap mufassir-mufassir sebelumnya. Contohnya sikap kritis terhadap Muhammad Abduh, Ibnu Jarir ath-Thabari, Fakhruddin ar-Razi, az-Zamakhsyari, al-Baidhawi, Mahmud al-Alusi, Jalaluddin as-Sayuthi, dan mufassir-mufassir lainnya. Walaupun sikap kritis juga dilakukan oleh M Quraisy Syihab itu sendiri terhadap Muhammad Rasyid Ridha pada akhir pembahasan buku ini.

Pertama, Syaikh Muhammad Abduh selaku guru dari Muhammad Rasyid Ridha. Rasyid Ridha menulis buku untuk gurunya berjudul “Tarikh Al-Ustadz Al-Imam” sebagai bentuk kekagumannya kepada Abduh dalam segi budi pekerti, teguhnya beragama, ilmu pengetahuan, dan sikapnya. Namun, kekaguman Rasyid Ridha terhadap gurunya tidak lantas menghalanginya untuk bersikap kritis dan obyektif. Contoh kritis yang diungkapkan Rasyid Ridha adalah:

“Apabila pembaca melihat kekagumanku menyangkut keluasan ilmunya, serta kemantapan pengetahuannya, yang menjadikan beliau wajar untuk menerima gelar “al-Ustadz al-Imam” yang banyak disetujui masyarakat umum, namun aku mencatat terdapat kekurangan guruku dalam bidang ilmu-ilmu hadits dari segi riwayat, hafalan, dan kritik al-jarh wa at-ta’dil sebagaimana halnya ulama-ulama al-Azhar” (Ridha, 1931, p. 46).

Kedua, Ibnu Jarir ath-Thabari sebagai mufassir terdahulu yang diagungkan sekaligus dikritik keras (pedas dan tidak sedap menurut Quraisy Syihab) oleh Muhammad Rasyid Ridha. Ibnu Jarir ath-Thabari mengarang tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsiril Qur’an. Kekaguman Rasyid Ridha bahwa Ibnu Jarir merupakan sosok ahli di bidang Tafsir bil Ma’tsur (Penafsiran yang berdasarkan kepada penjelasan-penjelasan yang diperoleh dari ayat-ayat Al-Qur’an, hadits nabi SAW, dan pendapat para sahabat) (Syihab, 2006, p. 153).

Kritis terhadap Ibnu Jarir ath-Thabari bermula dari hasil tafsirannya yang mengutip Riwayat perawi As-Suddi dan Ikrimah dengan redaksi secara umum bahwa Nabi Zakaria AS tidak dapat membedakan mana wahyu sebagai panggilan malaikat dan mana bisikan sebagai panggilan setan. Menurut Rasyid Ridha, bahwa hal ini seharusnya Ibnu Jarir langsung men-jarah-kan (menolak Riwayat dan menilainya secara negatif), bahkan melemparkan ke wajahnya (wajah yang dimaksud disini adalah wajah as-Suddi dan Ikrimah).

Ketiga, Fakhruddin ar-Razi sebagai pengarang tafsir Mafaatih al-Ghaib dan sekaligus mufassir yang paling banyak disoroti oleh Muhammad Rasyid Ridha. Ia kagum terhadap Fakhruddin ar-Razi, sehingga menyebut sebagai “al-Imam” sebutan bagi ar-Razi. Namun, disisi lain ia juga mengkritisi tafsiran-tafsiran ar-Razi, walaupun secara halus tidak seperti sebelumnya kepada Ibnu Jarir ath-Thabari. Dengan singkat setelah beberapa hal dikritisi oleh Rasyid Ridha, ia menyatakan bahwa semua yang dikemukakan oleh ar-Razi tidak dapat diterima, karena fanatismenya terhadap alirannya, membuat ar-Razi terbawa dan larut pada kelemahan, keruntuhan, kebathilan alirannya, padahal pemikiran ar-Razi sangat tajam dan pengetahuannya juga sangat luas.

Keempat, az-Zamakhsyari sebagai pengarang tafsir al-Kasysyaf yang dikagumi oleh Rasyid Ridha sebagai ahli Bahasa dan sastra Arab. Dibalik itu ia mengkritisi ketidaksopanan az-Zamakhsyari terhadap beberapa redaksi tafsir yang ia buat. Misalnya ketidaksopanan pada surat At-Taubah ayat 43. Menurut Rasyid Ridha bahwa az-Zamakhsyari tidak baik dan kurang sopan terhadap Rasulullah SAW atas redaksinya “Semoga Allah memaafkan Engkau”. Redaksi tersebut dikritik oleh Rasyid bahwa seharusnya tafsirnya adalah Allah mendidik dan menyampaikan maafNYA sebelum menyebut dosanya, dan hal ini merupakan puncak dari kasih sayang dan penghormatan.

Kelima, Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi merupakan pengarang tafsir al-Anwar at-Tanzil wa Asraar at-Ta’wil. Sesama penafsir yang sama sama mencetuskan ide tafsirannya, Rasyid Ridha menghargai pendapat al-Baidhawi. Namun, Rasyid Ridha juga tidak berhenti pada penghargaan padanya, dilanjutkan dengan mengkritisi tafsir tersebut, khususny dalam Surat al-Maidah ayat 51. Menurut al-Baidhawi jika berbeda agama, harus saling berjauhan ibarat menyalakan api, maka pihak lain jangan sampai melihat nyalanya api tersebut. Kritik terhadap al-Baidhawi ini disampaikan Ridha bahwa sebenarnya bukan menjauhi kaum Yahudi dan Nasrani karena berbeda agama, namun karena mereka itu memusuhi dan memerangi kaum muslimin. Sekligus didukung dengan surat al-Kaafirun ayat 6 “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Tidak ada persoalan jika berbeda agama tanpa ada permusuhan, namun jika ada permusuhan dan peperangan itulah yang bermasalah.

Keenam, Mahmud al-Alusi merupakan sosok pengarang tafsir Ruuh al-Ma’ani.  Kekaguman Rasyid Ridha terletak pada pengatahuannya yang sangat luas dan penafsir terbaik di kalangan mutaakhirin. Kritik terhadap Mahmud al-Alusi bahwa al-Alusi sebagai penjiplak pendapat-pendapat ulama sebelumnya, bahkan tidak menyebutkan sumber rujukannya. Selain itu, kritik terhadap Mahmud al-Alusi pada segi kurangnya pengetahuan Bahasa. Karena Bahasa merupakan sebuah alat untuk memahami bacaan-bacaan agar tidak terdapat kekeliruan.

Ketujuh, Jalaluddin as-Sayuthi pengarang tafsir ad-Duur al- Mantsur. Penafsir ini justru menjadi salahsatu topik dalam tafsir al-Manar dengan judul “As-Sayuthi, Kepikunan, dan Kekacauannya menyangkut usia dunia dan karangannya yang berjudul (pengungkapan tentang tidak terlampuinya seribu tahun oleh umat ini)”. Secara singkat Rasyid Ridha mengkritik as-Sayuthi dengan taklid buta, yang mengkhayal dan tidak berdasar pada sumber yang jelas, bukan seorang Hafidz, bagaikan seseorang yang mengumpulkan kayu bakar di malam hari.   

Minimal secara singkat terdapat dua hal yang dapat dikritik oleh Muhammad Quraisy Syihab kepada Muhammad Rasyid Ridha. Pertama, pemikiran-pemikiran Rasyid Ridha itu sebenarnya diwarnai oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Ibnu Katsir. Karena banyak sekali sanjungan-sanjungan kepada ketiganya dan banyak pendapat yang dikutipnya. Kedua, pendapat Rasyid Ridha itu tidak tentu sejalan dengan penafsir-penafsir terdahulu yang dikritiknya.

Ruang lingkup kajian Muhammad Quraisy Syihab adalah mengkritisi pendapat-pendapat Muahmmad Rasyid Ridha tentang Tafsir al-Manar dengan menciptakan karya buku berjudul Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar. Namun, beliau justru bersikap kritis juga terhadap Muhammad Rasyid Ridha dalam menilai karya nya.

Apakah para pembaca menganggap bahwa sikap kritis itu tidak penting? Tidak. Justru berfikir kritis itu sangat penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Harapan penulis bahwa pembaca sekalian menjadi “the best critical thinkers in their respective expertise”. Semoga!

 

MODEL INTERNALISASI NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Penulis : Sri Haningsih

Dosen PAI- FIAI UII

 

Proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) masih ditemukan beberapa kendala. Pertama, Proses pendidikan lebih kognitif oriented, sehingga “hanya” menghasilkan output pendidikan yang cerdas intelektual, lemah aspek emosional spiritualnya.

Kedua, kritik masyarakat pengguna masih ditemukan lulusan sekolah umum yang sudah menerima pembelajaran materi PAI mulai SD sampai Perguruan Tinggi belum bisa membaca,  menulis huruf al-Qur’an. Keluhan lain  PAI belum berdampak signifikan terhadap tingkah laku subyek didik yang dibuktikan dengan kenakalan remaja hingga pergaulan bebas dan pelanggaran seksual.

Kurikulum PAI memiliki kedudukan sangat penting untuk membentuk kepribadian seseorang. PAI di sekolah bertujuan menumbuh kembangkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT., serta akhlak mulia peserta didiknya. Jika selama ini PAI di sekolah didominasi oleh pendekatan doktriner, ideologis, dan hanya terhenti pada aspek kognitif, perlu diubah dengan pendekatan ilmu (rasional), iman, dan amal (kognitif, afektif dan psikomotor). PAI di sekolah harus dapat memotivasi peserta didik untuk mengembangkan keilmuan, memperkuat keimanan dan dapat dijadikan landasan moral kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu   PAI  saatnya dilakukan inovasi multi dimensi, sebutan peserta didik menjadi subyek didik. karena peserta didik cenderung pasif, sedangkan subyek didik aktif terlibat beberapa dimensi. Disamping itu diperlukan inovasi kurikulum yang meliputi tujuan pendidikan, materi atau bahan pendidikan, metode dan strategi Pendidikan, serta evaluasi pendidikan secara bulat dan utuh.

 

Model Internalisasi Nilai-Nilai PAI

Beberapa pendekatan atau model imternalisasi, yaitu:

  • Pendekatan keteladanan. Pendekatan ini penting, karena sasaran yang dituju adalah para siswa yang berusia muda, yang ditinjau dari perkembangan moral masih memerlukan “pemeran” atau aktor moral.
  • Pendekatan pengalaman, subyek didik diantarkan pada pengalaman keagamaan sampai sekiranya membekas dalam hidupnya, baik pengaruhnya kecil maupun besar terhadap perilaku keseharian mereka.
  • Pendekatan pembiasaan, subyek didik “dipaksa” membiasakan diri mengaktualisasikan pengalaman-pengalaman keagamaan dalam bentuk akhlak Islami. Bahkan kalau perlu juga dijadikan bahan/materi evaluasi kelulusan

 

Kesimpulan

Proses pembelajaran PAI terjadi proses interaksi edukatif antara guru, peserta didik dan lingkungan yang melibatkan berbagai komponen pembelajaran. Guru PAI diharapkan mampu mengelola berbagai komponen pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran dengan multi pendekatan dan metode yang efektif dan tepat guna.

 

 

Referensi

Faridi, “No Title,” Progresiva, Vol.5.No.1.Desember (2011), 4–5

Munif, “Strategi Internalisasi Nilai-Nilai PAI dalam Membentuk Karakter Siswa,” Edurelgia, Vol.01 No. (2017)

Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan (Studi Kritis Terhadap Pemikiran Pendidikan Fazlurrahman)(Yogyakarta: Kota Kembang, 2008)

Widodo, Hendro, “No Title,” Lentera Pendidikan, 21.1. Juni (2018), 110–22

Hendro Widodo, no Title,  Lentera Pendidikan , 21. 1. Juni (2018) , hal. 110.

Munif, “Strategi Internalisasi Nilai-Nilai PAI dalam Membentuk Karakter Siswa,” Edurelgia, Vol.01 No. (2017).

Sutrisno, Pendidikan Islam yang Menghidupkan (Studi Kritis Terhadap Pemikiran Pendidikan Fazlurrahman) (Yogyakarta: Kota Kembang, 2008), hal. 79.

Sutrisno.

Faridi, “No Title,” Progresiva, Vol.5.No.1.Desember (2011), 4–5 (hal. 10).

 

Learning Through Pandemic: Belajar Kembali Hakikat Pendidikan dari Pembelajaran Online.

Penulis : Kurniawan Dwi Saputra

Dosen PAI- FIAI UII – Kepala MEC Prodi PAI

 

Pembelajaran daring yang terpaksa dilangsungkan akibat Pandemi Covid-19 ini memiliki banyak masalah. Kita semua tahu. Siapapun Anda: pelajar, wali murid, hingga guru atau dosen pasti merasakannya. Ironisnya, di antara masalah utama dalam pembelajaran daring ini adalah semakin banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan dan harus diatur dengan baik demi berlangsungnya sebuah proses pembelajaran. Too many things to learn, too little time to think.

Tentu saja, Anda kini tidak perlu ke sekolah atau kampus untuk belajar. Anda cukup duduk manis di dalam rumah dan menyalakan laptop atau handphone. Anda juga bisa belajar sembari ngopi atau ngemil. Mengasyikkan bukan? Akan tetapi, di balik itu semua, ada lebih banyak hal untuk diatur agar kita dapat belajar dengan baik.

Bagi pelajar, terutama yang tinggal di daerah terpencil, pembelajaran daring jauh lebih menyulitkan daripada pembelajaran tatap muka. Anda harus mencari tempat dengan sinyal yang baik dan stabil. Bagi mereka, hal itu berarti harus keluar dari rumah, pergi ke tempat saudara, tetangga atau ke warnet. Untuk beberapa orang, seperti di kampung kelahiran saya di pelosok Bengkulu, itu berarti harus naik turun bukit untuk mencari daerah yang terjangkau jaringan. Contoh riilnya adalah apa yang dialami Idim, mahasiswa IPB, yang harus berjalan kaki kurang lebih 30 menit untuk mencapai lokasi yang terjangkau sinyal (Kasih, 2020).

Tapi, pelajar dengan jaringan internet yang baik pun belum tentu dapat belajar dengan tenang. Sebagian orang tua menganggap keberadaan anak mereka di rumah adalah sama seperti liburan. Jadi, mereka dituntut untuk membantu tugas-tugas rumah tangga selayaknya hari-hari libur sekolah. Tugas itu terkadang terlihat sepele namun sangat tidak bisa dilakukan berbarengan dengan kegiatan pembelajaran, misalnya mengasuh adik.

Bagi banyak wali murid, pembelajaran daring artinya mereka diminta untuk melakukan tugas orang tua yang mereka pikir sudah dialihkan kepada para guru/dosen dengan membayar SPP: mengajar anak-anak dan membimbing mereka mengerjakan tugas. Masalahnya, tidak semua materi pembelajaran dapat mereka jelaskan. Bagi sebagian wali murid yang lain, pembelajaran daring adalah pemborosan. Di tengah perekonomian yang tidak jelas akibat pandemi, mereka tetap harus membayar biaya sekolah/kuliah sementara anak-anak mereka terlantar di rumah, kebanyakan hanya nonton film korea atau main game. Selain itu, kebutuhan untuk biaya listrik dan internet juga meningkat. Apalagi bila anak-anak mereka harus tetap membayar biaya kos karena barang-barangnya belum diangkut.

Bagi guru atau dosen, pembelajaran daring sebenarnya juga semakin menyibukkan. Mereka harus mengajar sembari diganggu anak-anak yang merengek. Pembelajaran pun kehilangan nuansa mengasyikkannya karena tak ada interaksi yang hangat. Yang ada di hadapan mereka adalah layar-layar hitam, anak-anak jarang on camera. Itu seperti orang schizhoprenia yang berbincang dengan dirinya yang lain. Tugas-tugas anak didik yang biasanya dapat dikoreksi dengan cepat kini harus diperhatikan dengan njelimet; butuh waktu yang sangat banyak. Bayangkan jika Anda mengajar lima kelas dengan murid 40 orang perkelas dan masing-masing membuat video berdurasi 5 menit! Anda membutuhkan waktu 1000 menit atau 16 jam lebih untuk mengoreksi satu tugas. Jika menggunakan aplikasi yang sistematis seperti google form atau mentimeter pun, butuh waktu untuk mempersiapkannya.

Dari masalah-masalah di atas, pandemi sebenarnya mengajarkan kita kembali tentang makna pendidikan. Di antaranya adalah sebagai berikut: pertama, bahwa pendidikan adalah hak setiap anak bangsa, karena itu pemerintah perlu menyediakan akses dan fasilitas yang baik bagi setiap anak bangsa di seluruh penjuru negri. Kedua, para pelajar perlu memahami bahwa pendidikan adalah bukan hanya tentang materi kognitif, melainkan juga sikap efektif dan psikomotorik. Karena itu, penting untuk dicamkan bahwa sikap hormat dan komunikatif kepada guru harus tetap ditunjukkan meski dalam pembelajaran daring. Ketiga, para wali murid perlu menyadari bahwa bagaimanapun pendidikan anak-anak pertama-tama berada dalam tanggungjawab orang tua. Maka, kita tidak bisa mengalihkan pendidikan mereka, terutama dalam hal moralitas, kepada siapapun meskipun telah membayar mahal. Keempat, para guru dan dosen perlu menerima bahwa tanggungjawab mendidik tidak bisa disederhanakan, misalnya dengan sekadar memberi murid tugas. Karena itu, beban kerja yang semakin berat tersebut harus diterima dengan benar, dengan kesungguhan memperbaiki media dan metode pembelajaran, dan dengan kesediaan untuk lebih menerima kekurangan murid melalui sikap memahami dan komunikatif.

Wallahu ta’ala a’lam.

 

Referensi

Kasih, Ayunda Pininta. 2020. Perjuangan Mahasiswa IPB Naik Turun Bukit untuk “Kuliah Online”. www.kompas.comhttps://www.kompas.com/edu/read/2020/04/08/140000671/perjuangan-mahasiswa-ipb-naik-turun-bukit-untuk-kuliah-online-?page=all Diakses pada 30 Agustus 2021.

 

Strategi Menghidupkan Kuliah Online

Penulis : M Nurul Ikhsan Saleh

Dosen PAI- FIAI UII – Kepala CSSD Prodi PAI

 

Pandemi Covid-19 bukan hanya berdampak pada proses belajar mengajar di perguruan tinggi dari luring menjadi daring. Pandemi ini juga berpengaruh besar secara global terhadap manajemen, organisasi dan interaksi sosial perguruan tinggi. Di balik banyaknya hambatan yang dihadapi, perguruan tinggi di Indonesia perlu terus melakukan inovasi dan berbenah agar kualitas pembelajaran tetap terjaga. Perlu strategi khusus sebagai jawaban atas keluhan yang sering ditemui oleh para dosen dalam pembelajaran online yaitu suasana pembelajaran yang membosankan. Berikut beberapa strategi menghidupan kuliah online baik dalam bentuk pembelajaran sinkron atau asinkron.

Interaksi

Strategi pertama yang bisa ditempuh dalam menghidupan kuliah online utamanya ketika pembelajaran dilakukan secara sinkron adalah dengan memanfaatan aplikasi seperti Mentimeter selain penggunaan aplikasi Zoom. Lewat aplikasi Mentimeter, seorang pengajar dapat mengajukan beberapa pertanyaan atau harapan di awal pertemuan pertama atau di awal-awal kelas dimulai. Dari sinilah mahasiswa bisa terlibat aktif berpartisipasi dalam pembelajaran. Ada interaksi dua arah antara dosen dan mahasiswa. Sehingga mahasiswa bukan hanya terlibat mendengarkan, akan tetapi terlibat dalam interaksi bersama dosen dan teman-temannya. Interaksi ini bisa juga dalam bentuk percakapan langsung atau lewat pesan tertulis baik ketika lewat aplikasi Zoom, Google Meet, atau media pembelajaran daring seperti Google Classroom.

Umpan Balik

Strategi kedua dalam menghidupkan pembelajaran di masa pandemi adalah dengan cara memberikan umpan balik atau feedback. Umpan balik ini bisa dari teman sekelas atau dosennya. Semisal dosen memberikan tugas di Google Classroom, maka seorang dosen butuh memberikan umpan balik terhadap hasil kerja mahasiswa. Tujuannya adalah agar mahasiswa bisa memahamai atas hasil kerja yang telah dilakukan, semisal ada yang perlu diperbaiki atau semacamnya. Umpan balik ini bisa dalam bentuk apresiasi dan masukan untuk perbaikan. Harapannya seorang dosen bukan hanya fokus pada saran-saran perbaikan, akan tetapi juga bisa menyampaikan kelebihan-kelebihan yang terdapat pada karya mahasiswa.

Motivasi

Strategi selanjutnya adalah dosen butuh terus memberikan semangat pada mahasiswanya pada setiap pertemuan. Terlebih di masa-masa pandemi Covid-19 ini, mahasiswa perlu dikuatkan optimismenya dan dikuatkan komitmennya dalam belajar dengan sungguh-sungguh. Lewat motivasi inilah diharapkan mahasiswa terus bisa bertahan dalam kesulitan bahkan lebih tangguh dalam menghadapi kondisi apapun. Semisal mahasiswa kesulitan sinyal di rumahnya, harapannya bisa mencari sinyal ke tempat lain. Beberapa contoh mahasiwa saya rela pergi ke dekat tower Telkomsel, pergi ke kebun atau main ke rumah saudara untuk mendapatkan sinyal yang memadai atau mendapatkan tumpangan Wifi. Inilah salah satu indikasi mahasiswa tersebut memiliki motivasi belajar yang tinggi.

Survey

Strategi lain yang saya lakukan pada pertemuan awal perkuliahan adalah dengan membuat survey menggunakan Google Form. Mahasiswa diminta memilih media belajar apa yang paling pas untuk proses pembelajaran. Semisal ada mahasiswa yang memiliki preferensi penggunaan media belajar Zoom, ada juga Google Classroom, dan ada pula group WhatsApp, maka media pembelajaran yang dipilih dalam pembelajaran bisa mengakomodasi ketiga media pembelajaran tersebut. Terlebih lagi ketika akan menerapkan konsep Student Centered Learning, maka dalam survey tersebut perlu ditanyaan siapa saja mahasiswa yang menggunaan Wifi dan laptop sehingga ketika pembelajaran dibentuk secara kelompok untuk presentasi, diusahakan dalam satu kelompok ada yang menggunakan Wifi dan menggunakan laptop sehingga pada hari H, diharapkan bisa berjalan dengan lancar. Tentu juga dengan survey ini dosen bisa memastikan dalam kelompok bisa ada keterlibatan mahasiswa laki-laki dan perempuan.

Quiz

Setiap kali pertemuan dalam perkulihan perlu selalu ada quiz untuk mengukur pemahaman mahasiswa. Quiz tersebut diharapkan tidak perlu terlalu memberatkan mahasiswa tapi juga tidak terlalu meringankan mahasiswa. Maksudnya adalah mahasiswa perlu mendengarkan perkuliahan atau membaca materi perkuliahan pada pertemuan tersebut untuk bisa menjawab quiznya. Pertanyaan bisa dalam bentuk uraian, akan tetapi saya sendiri sering kali menggunakan pertanyaan pilihan ganda. Dari sini diharapkan mahasiswa selalu mengikuti pembelajaran sebaik mungkin minimal agar bisa menjawab quiz harian. Quiz ini juga bisa dalam bentuk perlombaan semisal menggunakan aplikasi Quizizz dimana mahasiswa akan berlomba menjadi yang tercepat dan yang paling banyak menjawab dengan benar. Lewat aplikasi ini pula mahasiswa bisa gembira menjawabnya dan berkompetisi. Dosen bahkan dapat melihat pemahaman mahasiswa akan materi yang telah disampaikan pada pertemuan-pertemuan sebelumnya lewat hasil jawaban mahasiswa di Quizizz.

Itulah beberapa strategi menghidupkan perkulihan online. Namun dibalik strategi itu semua, seorang dosen perlu selalu terus berinovasi sesuai dengan materi perkulihan dan keadaan mahasiswa itu sendiri. Contohnya berinovasi dengan mendatangkan dosen tamu dari luar negeri agar tidak jenuh. Seorang dosen juga perlu berempati dan sabar menghadapi mahasiswa yang terkendala menjalani kuliah online, semisal tidak memiliki uang untuk membeli paket internet atau kendala lain. Sehingga dosen perlu mendengarkan keluh kesah mahasiswa. Mahasiswa saya pernah bercerita bahwa ketika pembelajaran online ini dijalankan, ia juga terkadang harus membantu orang tuanya berjualan, bahkan mencari pekerjaan sambilan karena ekonomi orang tuanya terdampak oleh Pandemi Covid-19. Tidak lupa pula seorang dosen butuh selalu mendokan mahasiswanya agar selalu diberikan petunjuk oleh Allah SWT dan keluarganya dimudahkan urusannya di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang belum berkesudahan.

Antum : Penggunaan Sehari-harinya dalam Kajian Transformasi Nahwu

Penulis : Ahmad Zubaidi

Dosen PAI- FIAI UII

 

Fenomena Ana dan Antum

Dalam akhir-akhir ini, tak jarang kita mendengarkan orang lain atau bahkan diri kita sendiri bebicara dengan seseorang dalam bercakap-cakap menggunakan kata berbahasa Arab yakni yang paling dominan adalah Ana dan Antum, mengesampingkan tujuan instrinsik pembawaan pembicaraan itu sendiri (bisa jadi karena pergaulan, kebiasaan, pembiasaan, atau bahkan ideologi). Beberapa orang mungkin menganggap ana dan antum adalah hal yang biasa dan wajar digunakan untuk bercakap-cakap tetapi sebagian yang lain menganggap aneh, mungkin karena belum terbiasa dengan bahasa Arab. Secara lebih dalam penggunaan 2 (dua) kata tersebut hanyalah untuk merubah bahasa Indonesia itu sendiri ‘saya’ dan ‘kamu’ menjadi bahasa Arab yakni ‘ana’ dan ‘antum’. Banyak orang ketika sedang bercakap-cakap, ia mencampurkan antara penggunaan bahasa Arab dengan bahasa Indonesia yakni penggunaan 2 (dua) kata di atas berbahasa Arab kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan bahasa Indonesia dalam meneruskan percakapannya.

In Theory

Dalam teori ilmu Nahwu yang kita pelajari sudah terlalu jelas bahwa antum adalah kata ganti orang atau dalam bahasa Arab biasa disebut dengan isim dhomir yang bermakna ‘kalian’ atau bisa kita maknai dengan ‘kamu dalam jumlah orang lebih dari 2 (dua) orang’. Dalam menggunakan tunggalnya yang bermakna ‘kamu dalam jumlah 1 (satu) orang’ menggunakan anta. Bahkan di negara Arab sendiri akan menjadi hal yang ‘lucu’ ketika misalnya fulan berbicara dengan fulan menggunakan kata ganti orang ‘antum’ dalam melakukan percakapan. Begitu juga dalam kita memanggil Alloh SWT misalnya dalam berdoa, sudah sangat jelas Nabi memberikan do’a yang diucapkan oleh Khadijah ketika itu ‘Allohumma anta as-Salam wa minka as-Salam…..’ dengan arti ya Alloh engkau adalah Dzat yang Maha Penyelaman dan dariMu juga sebuah keselamatan… tidak ada disana memakai ‘Allohumma antum as-Salam… serta dalam menyampaikan salam kepada Nabi Muhammad SAW memakai ‘Assalamualaika ya Ayyuhan Nabi’ bukan ‘Assalamualaikum ya Ayyuhan Nabi’. Bahasa Arab itu bersifat egaliter dan menghargai kesederajatan dalam menggunakan kata ganti orang. Sehingga kata ganti anta (kamu laki-laki 1) akan berlaku untuk semua pelaku tunggal, sedangkan antum (kalian >2 laki-laki) adalah untuk pelaku jamak.

In Fact

Sedangkan yang terjadi pada kita di negara Indonesia, banyak yang menggunakan kata antum untuk diposisikan pada orang laki-laki 1 (satu) dengan dalih sebagai penghormatan kepada mukhotob/orang yang sedang diajak berbicara. Memang, dalam bahasa Jawa di Masyarakat Indonesia sangat kental sekali dengan unggah-ungguh/sopan santun bahkan dalam memakai bahasa yang digunakan dalam percakapan misalnya ‘kowe’ adalah bahasa kasar yang kemudian diganti dengan ‘jenengan’ untuk merubah menjadi bahasa yang lebih halus atau sebagai penghormatan kepada yang sedang diajak berbicara. Di negara kita, banyak sekali yang memposisikan antum itu sebagai ‘jenengan’ dan anta sebagai ‘kowe’.  Jadi seakan-akan dalam klausul bahasa Arab pun ada stratifikasi penghormatan dalam memakai kata ganti orang dalam sebuah percakapan, padahal sebenarnya sesuai dengan pembahasan in theory di atas. Secara tidak langsung, hal ini termasuk transformasi nahwu dalam penerapan teorinya di kehidupan sehari-hari. Jika sedikit melihat pada aspek hermeneutika-budaya sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh Fazlur Rahman dalam teorinya hermeneutika kontekstual bahwa transformasi tersebut dapat dilakukan sebagai jawaban terhadap kasus baru berdasarkan nilai ideal-moral yang ada dalam masyarakat maka yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut.

Pertama, boleh digunakan sebagai dasar kultur yang sudah ada di masyarakat Indonesia sebagai jawaban nilai ideal-moral yang hanya ada pada kasus di Indonesia sendiri. Jika dalam penggunaannya di negara Arab maka, harus memakai kata ganti yang sesuai dan apa adanya tidak lantas menyamakan hal tersebut dengan budaya yang ada di Arab.

Kedua, adanya kesadaran belajar lebih dalam memahami konteks tersebut (dalam hal ini adalah bahasa Arab) serta memahami adanya kesalahan yang ada pada konteks kata ganti orang yang digunakan, tetapi mengarahkannya kepada konsep ideal-moral masyarakat Indonesia saja.

Ketiga, adanya saling sepemahaman (sama perspektif) dalam menggunakan kata ganti orang dengan tujuan sebagai penghormatan tersebut. Antara mutakallim (orang yang berbicara) dengan mukhotob (orang yang sedang diajak berbicara/lawan bicara) sudah mengetahui kaidah ideal-moral transformasi tujuan penggunaannya dalam melakukan percakapan.

Keempat, tidak menggunakan dengan tujuan lain yang menjadikannya sebagai kaidah baku, tetapi hanya sebagai pembiasaan dalam persamaan pembawaan kultur yang ada di Indonesia saja.

So,

Lebih bijak dalam menggunakan kaidah tersebut akan lebih memberikan makna yang berarti bagi orang yang berbicara maupun orang yang sedang diajak bicara/lawan bicara.

Guru MODIIS Idola Generasi Emas, seperti apa?

Penulis : Burhan Nudin

Dosen PAI- FIAI UII dan Kepala Pusat P3I Prodi PAI

 

Guru dalam tradisi Jawa merupakan akronim dari digugu lan ditiru (orang yang dipercaya dan diikuti), bukan hanya bertanggung jawab mengajar mata pelajaran yang menjadi tugasnya, melainkan lebih dari itu juga mendidik moral, etika, integritas, dan karakter. Martin Luther King Jr menyatakan, “Intelegence plus character; that is the true goal of education.” lebih dari itu adalah salah satu bagian penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan (Husodo, 2015).

Tugas dan tanggungjawab guru tak sekedar memberikan informasi dan sejumlah mata pelajaran di depan peserta didik. Tugas terberat guru adalah membantu peserta didik mewujudkan impian-impiannya di masa depan. Dalam rangka menyiapkan bangkitnya generasi emas Indonesia tahun 2045, diperlukan pembangunan pendidikan dalam perspektif masa depan (Peta Jalan GEI, Kemdibud, 2017). Oleh sebab itu, peran guru tidak hanya sebagai pembimbing akademik tetapi juga harus mampu membekali mindset inovatif. Sehingga, anak didik bisa selalu siap untuk melakukan perubahan yang responsip dimanapun dan kapanpun.

Keteladanan yang mengesankan sepanjang kehidupan harus dimiliki oleh pendidik. Guru harus berusaha menjadi sumber inspirasi, role model, dan membuat catatan sejarah yang akan terus dikenang, baik ucapan, tindakan, dan nasehat-nasehat bijaknya oleh peserta didik sepanjang masa.

Peningkatan kualifikasi dan proses sertifikasi, ternyata belum cukup untuk mengantarkan seseorang menjadi pendidik atau guru idola yang ideal. Belum lagi tantangan yang harus dihadapi guru terkait dengan pelbagai perubahan yang sangat dinamis dan variasinya cukup kompleks.

Pergeseran peran pendidik yang tadinya dominan sebagai aktor pendidikan, kini mulai tergantikan oleh media digital yang bisa melayani kebutuhan peserta didik dengan cepat, canggih, dan tidak tergantung waktu dan tempat. Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan kekinian dan sekaligus mengantisipasi tuntutan-tuntutan yang futuristik, kehadiran sosok Guru MODIIS (Moderat, Inovatif, dan Inspiratif) sangat diidolakan ‎‎(kemenag.go.id, 2020)‎.

Moderat

Direktorat Jenderal Pendididikan Islam selama ini melakukan pelbagai upaya untuk melatih para guru menjadi agen Moderasi Beragama yang akan mengantarkan pemahaman secara kritis, reflektif, terbuka dan toleran melalui pengembangan ranah kognisi, afeksi, dan motorik. Hal itu diwujudkan dengan pengembangan nilai-nilai keagamaan Islam yang moderat sebagai aktualisasi visi Islam rahmatan lil alamin (ISRA).

Peran guru menempati posisi sentral yang sangat penting dan strategis dalam menanamkan pemahaman moderat. Dalam konteks itu, guru yang mengerti falsafah pendidikan dan tidak berpandangan tunggal dalam keberagamaan dapat memainkan peran penting dalam membina anak didik.

Landscape guru yang moderat adalah guru yang mampu memberikan pemahaman yang tidak tunggal dan tidak bersifat doktriner sehingga tidak mudah menganggap pandangan pihak lain menyimpang. Sebagai sosok panutan, menjunjung perdamaian dan menghargai perbedaan. Dialog dan diskusi menjadi jembatan penghubung sebagai persemaian Moderasi Beragama yang dilakukan oleh guru. Dialog dan diskusi yang dilakukan oleh guru tidak bersifat memaksa tapi sebagai bahan untuk memperkaya pengetahuan. Hal ini diwujudkan sebagai evaluasi agar para siswa tidak teracuni dan tak terobsesi oleh yang terbenar (the only truth) dan kuasa (power). Atmosfer pembelajaran juga sangat menjunjung toleransi. Guru adalah narasumber yang moderat yang menjadi delegasi untuk menguatkan ikhtiar pembumian Moderasi Beragama. Dengan kata lain, guru adalah perwujudan dari persemaian suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap karena menjadi bagian peletak dasar pengertian dan konsep moral dalam diri siswa.

Pengarusutamaan Pendidikan Islam yang moderat dapat dilakukan guru dengan dua jalur, yaitu: 1) moderasi wacana, dan 2) moderasi perilaku. Moderasi wacana menjadi strategi dalam penguatan sikap moderat mulai pemikiran dan ideologi dengan menampilkan sikap tawasuth dalam perjuangan menyebarkan syiar Islam, terbuka terhadap ajaran, ideologi, kepercayaan, dan lain sebagainya. Sementara moderasi perilaku menjadi strategi dalam penguatan sikap moderat yang ditindaklanjuti dengan perilaku toleran terhadap pihak lain yang berbeda pandangan.

Inovatif

Tujuan pembelajaran hakikatnya adalah untuk menyiapkan peserta didik sebagai bekal kehidupan dan menghadapi tantangan masa depan. Tentu orientasi pembelajaran harus mampu membaca dinamika perubahan yang sudah, sedang dan akan terjadi di dunia. Tanpa pemahaman seperti ini, maka yang dilakukan guru akan sia-sia karena peserta didik hanya mampu menceritakan apa yang diajarkan oleh guru tetapi bekal pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa dari guru tidak mampu merespon tantangan yang ada. Bukan hanya sekedar berfikir reaktif tetapi lebih jauh harus yang bersifat proaktif dan futuristik.

Anak didik perlu dilatih berfikir dan bertindak reaktif yang mampu merespon isu dan peristiwa kekinian. Banyak peristiwa yang terjadi hari ini tidak pernah kita duga dan fikirkan sebelumnya sehingga banyak diantara kita termasuk anak-anak didik kita yang gugup dan gagap meresponnya. Adanya Covid-19 yang melanda kita saat ini, dunia pendidikan sangat merasakan dampaknya. Lembaga pendidikan yang banyak memamerkan keindahan dan kemegahan bangunan fisik selama ini sangat terasa tidak ada maknanya ketika tidak ada pembelajaran tatap muka.

Mereka yang selama ini telah memulai dengan belajar on-line (daring) menjadi pilihan yang tepat. Akhirnya kita juga bisa menyimpulkan, dalam kondisi seperti sekarang ini yang terpenting diperhatikan adalah unsur pengajar, yang belajar dan yang diajarkan. Waktu belajar bisa dilaksanakan kapan saja dan tempat untuk belajar bisa dilaksanakan di mana saja.

Guru harus bekerja lebih keras lagi dan mencoba berfikir futuristik kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pasca Covid-19 ini agar dunia pendidikan tidak gugup dan gagap seperti selama ini. Budaya-budaya inovasi dan membangun kreativitas adalah solusinya.

Kebanggaan terhadap ranking raport atau Indeks Prestasi bukan menjadi prioritas utama, meski ini masih dibutuhkan. Lebih dari itu, memunculkan insan pendidikan yang inovatif dan kreatif sangat penting untuk menjawab tantangan-tantangan kehidupan di masa depan.

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk sesama, bukan yang IPnya 4 atau yang selalu ranking satu. Hari ini kita bisa bertanya kemana keberadaan mereka dan dimana kiprahnya. Padahal dulu di kelas atau ketika mereka diwisuda mendapatkan banyak ucapan selamat, karangan bunga dan dipuja-puja. Bukan itu tidak penting dan tidak berguna, tetapi kalau hanya berhenti di situ saja, ini hanya akan menjadi cerita dan nostalgia. Itu sebenarnya awal yang baik dan jika mindset inovatif itu terus bisa dijaga maka akan banyak karya-karya dan temuan yang bermakna.

Para pendidik, di samping terus memelihara potensinya terutama menjaga mindset inovatif, mereka juga berkewajiban menanamkan mindset inovatif kepada para peserta didik. Dalam benak peserta didik, harus betul-betul tertanamkan mental ingin berubah, melakukan hal-hal yang pertama, yang terbaik dan berbeda. Kesan selama ini yang hanya berlomba-lomba mengejar ranking dan pencapaian Indek Prestasi (IP) tertinggi harus dibarengi dengan perubahan. Anda sudah berada pada posisi yang tepat namun Anda akan tergilas jika diam di tempat.

Inspiratif

Hingga menyelesaikan jenjang pendidikan Strata Satu (S1), sudah berapa banyak guru yang sudah bertemu dengan kita dan memberikan sejumlah mata pelajaran masing-masing. Setiap guru yang hadir di depan kelas selalu mengatakan bahwa pelajaran yang diampunya penting. Semua peserta didik wajib memperhatikan dan diminta untuk menyimak dengan sungguh-sungguh. Bahkan ada yang setengah mengancam dan menakuti manakala kita tidak bisa menguasai pelajaran yang diberikan. Semua guru hampir melakukan hal sama.

Ekspektasi para pendidik seperti ini sebenarnya tidak adil karena kemampuan gurunya sendiri juga hanya satu bidang sementara anak didik diminta dan dituntut menguasai semuanya. Layanan yang diberikan kepada peserta didik semestinya layanan yang beragam yang mampu melayani keragaman kecerdasan. Karena kita ketahui dan sadar bahwa pada akhirnya kelak, anak didik kita akan optimal perannya sesuai dengan optimalisasi kecerdasan yang dimiliki.

Masing-masing kita beda tetapi semua kita pasti memiliki kenangan dari salah satu mereka. Kita pasti ingat terhadap guru atau dosen kita sewaktu duduk dibangku Sekolah Dasar, Menengah atau Perguruan Tinggi. Pada setiap tingkatan tersebut pasti ada salah salah dari para guru tersebut yang tetap terus kita kenang dan sulit untuk dilupakan meskipun kita sudah tidak ingat lagi materi pelajaran apa yang pernah disampaikan. Itulah guru idola, pujaan, dan inspiratif.

Banyak di antara kita hari ini melakukan pelabagi aktivitas, model dan ragam kegiatan karena inspirasi dari guru-guru kita. Ada yang terkesan dengan ucapan-ucapannya, prilaku kesehariannya, cara mengajar dan lain-lain. Bahkan dalam pelbagai kesempatan kita sering sebut-sebut namanya dan yang pasti kita wajib mendoakannya. Pancaran keikhlasan yang tertangkap oleh setiap anak didik inilah yang menjadikan kata-kata yang keluar, tindakan-tindakan dipertontonkan dan do’a-do’a mereka mampu menembus jiwa peserta didik dan dijadikan panutan, motivasi, mindset inovatif dan gerakan-gerakan perubahan sepanjang zaman. Inilah namanya inspirasi.

Edutech dan Perkembangan Pendidikan di Indonesia

Penulis : Mir’atun Nur Arifah

Dosen PAI- FIAI UII – Ketua Prodi PAI

 

Edutech

Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat peningkatan startup yang bergerak dibidang education technology atau yang dikenal dengan edutech. Edutech merupakan salah satu bentuk inovasi pembelajaran yang mengkombinasikan penggunaan perangkat keras seperti komputer ataupun smartphone dan perangkat lunak yang dikembangkan oleh perusahaan dengan teori maupun praktik pendidikan. Peningkatan dalam bidang edutech ini berupa penambahan jumlah startup yang dikembangkan maupun peningkatan pendanaan yang diperoleh startup yang sudah ada. Tentunya hal tersebut dapat menjadi indikator yang baik terkait perkembangan edutech di Indonesia. Peningkatan kompetisi atau persaingan antar produk yang dikembangkan menjadi sebuah keniscayaan, sehingga penting bagi startup pengembang edutech untuk terus melakukan inovasi dan meningkatkan kualitasnya sehingga dapat memberikan hasil yang baik bagi para penggunanya. Pada perkembangannya, edutech turut mewarnai pendidikan di Indonesia dengan layanannya dapat diakses oleh masyarakat dari berbagai kalangan, baik anak-anak pra-sekolah, anak-anak dan remaja usia sekolah, maupun pengguna secara umum. Fasilitas yang diberikan oleh edutech pun beragam, mulai dari penyedia materi pembelajaran secara online atau yang dikenal dengan e-learning, membantu perencanaan kegiatan pembelajaran, memberikan informasi yang berkaitan dengan pendidikan seperti informasi beasiswa, dan lain sebagainya. Adanya fasilitas yang cukup lengkap inilah yang membuat edutech menjadi primadona baru dalam dunia pendidikan, sehingga mulai dikembangkan oleh institusi-institusi pendidikan, tidak hanya dari perusahaan-perusahan IT saja.

 

Perkembangan Pendidikan di Indonesia

Membahas perkembangan pendidikan di Indonesia, sama dengan membahas sejarah panjang perjalanan bangsa ini sejak jaman kolonial. Pada masa lampau, meskipun masih berstatus sebagai negara jajahan, pendidikan di Indonesia sudah terselenggara dengan model yang beragam. Pemerintah Belanda pada masa itu menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan “versinya”, meskipun pada saat yang bersamaan pendidikan tradisional juga sudah terselenggara di Indonesia melalui pendidikan berbasis agama seperti pesantren. Pada masa kependudukan Jepang, perkembangan pendidikan juga masih berlangsung dengan perubahan beberapa kebijakan agar sesuai dengan karaktersitik pemerintahan kala itu. Setelah Indonesia merdeka, sistem pendidikan di Indonesia mulai dibenahi oleh pemerintah meskipun dalam prosesnya terkadang masih diwarnai oleh masuknya kepentingan-kepentingan tertentu. Hingga saat ini, pendidikan di Indonesia masih terus berkembang, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang secara langsung mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan. Beberapa contoh perkembangan dalam pendidikan yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diantaranya adalah perkembangan media dan sumber belajar, perkembangan kurikulum, serta akses belajar yang semakin mudah. Namun hal tersebut bukan berarti pengembangan pendidikan di Indonesia dicukupkan sampai tahap ini saja. Masih banyak tugas dan pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan untuk meningkatkan pelayanan pendidikan. Sehingga nantinya seluruh wilayah Indonesia baik yang berada di perkotaan maupun di daerah-daerah memiliki fasilitas pendidikan yang merata.

 

Refleksi

Langkah pemerintah dalam mendukung perkembangan edutech di Indonesia perlu diapresiasi karena menunjukkan keseriusan pemeritah dalam mengembangkan pendidikan yang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan hal tersebut, perlu diimbangi dengan peningkatan wawasan dan kesadaran masyarakat, khususnya para pelaku bidang pendidikan terkait pentingnya peran teknologi untuk mendukung efektivitas pembelajaran. Pola pembelajaran dan peran guru yang berubah perlu diimbangi dengan kesiapan lembaga pendidikan, khususnya pendidikan tinggi untuk membekali calon-calon guru dengan berbagai kompetensi yang dibutuhkan dalam pembelajaran di era milenial. Hal ini dapat menjadi potensi yang menjanjikan karena guru nantinya dapat turut andil dalam pengembangan edutech yang secara tidak langsung turut mengembangkan pendidikan di Indonesia. Kolaborasi yang baik antara berbagai pihak akan memudahkan dalam mewujudkan pendidikan yang inovatif, sejalan dengan perkembangan teknologi, namun tetap berpegang pada nilai-nilai pendidikan. Selain itu, upaya pemerataan pendidikan di Indonesia juga terbantu dengan adanya pengembangan berbagai sumber belajar yang dapat diakses oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun.

 

Jas Merah SPI: Inspirator Pendidikan Back to Family

Penulis : Junanah

Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam dan Kaprodi Magister Studi Islam

 

Sejarah merupakan rangkaian peristiwa yang syarat makna dan pengetahuan. Setiap peristiwa yang terjadi, baik di masa lampau maupun masa kini akan mengeksplorasi berbagai makna yang syarat akan hikmah yang ada di balik peristiwa tersebut. Hanya para Ulul Albab yang akan dapat menemukan dan mengeksplorasikan menjadi rangkaian kata dan kalimat bermakna. Sejarah yang baik akan memberikan dampak baik bagi pelaku dan generasi sesudahnya, sebaliknya sejarah kelam akan menjadi pembelajaran yang sangat berharga dalam mengisi proses kehidupan ini.  Sejarawan yang cerdas memotivasi penikmatnya untuk terus menggali nilai-nilai yang terkandung dalam karyanya. Sejarawan Cerdas akan memaparkan semua rangkaian peristiwa yang tercatat secara rapi dan menggugah semangat untuk menuntaskan rangkaian peristiwa yang pantas dan terasa rugi manakala harus berhenti ditengah jalan apalagi dengan menambahkan bumbu-bumbu scenario yang dapat membelokkan kisah nyata dari perjalanan sejarah itu dan menorehkan kecacatan kebenaran yang akan menjadi racun bagi kehidupan generasi sesudahnya.

Dunia pendidikan tidak luput dari sejarah pendidikan islam yang menurut periodesasi dan peristiwanya tidak lepas dari beberapa unsur penting seperti: lembaga, kurikulum (tujuan, materi/isi/metode), pendidik, dan lingkungan. Lembaga merupakan bentuk organisasi yang menjadi tempat mengorganisir unsur penting di dalamnya, karena melalui lembaga, baik formal, informal maupun non formal proses pendidikan akan diolah sedemikian rupa agar dapat memperlancar  dan menghasilkan capaian pembelajaran yang akan membentuk suatu alur proses sejarah tersendiri bagi para pelaku pendidikan tersebut. Unsur penting berikutnya adalah kurikulum, dimana didalamnya terdapat tujuan pendidikan. Tujuanlah yang menjadi target goal-nya pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan penting untuk dipahami bersama oleh pengelola lembaga yang ada, agar semua unsur dapat dijalankan secara baik dan maksimal. Tujuan pendidikan menginspirasi pengelola lembaga untuk menentukan materi yang akan diberikan oleh orang yang berkompeten dalam bidangnya. Dengan demikian metode yang tepat, sesuai karakteristik dan senantiasa mengikuti perkembangan zaman diperlukan oleh pendidik atau guru. Hal yang tidak kalah penting dari semua itu adalah lingkungan yang mendukung terjadinya proses belajar mengajar. Oleh karena itu, pengelola suatu lembaga pendidikan mesti paham akan lingkungan pendukungnya. Apabila terjadi masalah dengan lingkungan, maka pengelola secepatnya mencarikan solusi untuk mengantisipasi dan mengatasinya.

Mempelajari dan menekuni tentang sejarah Pendidikan Islam merupakan salah satu sarana untuk mengatasi permasalahan di dunia saat ini, yang secara massif banyaknya problematika  yang sedang dihadapi dunia pendidikan ini sangat menghambat jalannya proses pendidikan itu sendiri. Apalagi secara ideal Catur Pusat Pendidikan yang ‘dikebiri’ karena sesuatu hal sehingga pemangku kebijakan membuat suatu policy yang sifatnya instan, seperti: sekolah yang harus dilaksanakan secara daring; tempat ibadah yang dibatasi fungsinya, terutama tempat ibadah umat Islam yang tidak hanya sebagai tempat ibadah mahdloh saja, akses-akses umat ditutup, dan lain sebagainya. Jika kita mengingat Sejarah Pendidikan Islam dari zaman Rasulullah dimana masjid merupakan lembaga pendidikan dan tempat berkumpulnya umat Islam menjalankan syariatnya, maka dengan adanya pembatasan ini proses edukasi sudah ‘dikebiri’ secara fungsional, apalagi dengan diterapakannya Phyisical Distancing, masyarakat yang menjadi salah satu pusat pendidikan juga telah diamputasi fungsinya. Hal tersebut tentunya juga menggoyahkan benteng pendidikan terakhir dan utama yaitu Keluarga. 

Keluarga sebagai pusat pendidikan yang utama dan awal kali terjadinya proses edukasi, beberapa decade terakhir ini semakin dikoyak koyak dan diinfiltrasi berbagai pemahaman yang sifatnya hedonis, materialistis, yang dominan berorientasi duniawi semata. Keluarga seharusnya menjadi pusat pendidikan yang fundamental sekarang ini justru seolah-olah sebaliknya menjadi sumber malapetaka bagi hubungan kekeluargaan yang disebabkan oleh seabrek masalah yang dihadapi. Apabila setiap keluarga menyadari akan pentingnya pendidikan keluarga, bukan suatu keniscayaan bahwa benteng pendidikan yang fundamental tersebut bisa diselamatkan dari kehancuran yang mengancamnya. Untuk itu, adalah hal yang menarik menjadi suatu renungan kita untuk mengembalikan fungsi keluarga sebagai pusat pendidikan yang fundamental, sehingga perlu diperbanyak ide-ide pendidikan keluarga yang dimulai dari program pendidikan pra nikah, program pembinaan keluarga samawa, penyusunan kurikulum keluarga samawa, program assessment keluarga samawa, dan lain sebagainya. Jikapun ide-ide tersebut belum bisa direalisasikan oleh institusi wajib Negara maka kampus perlu mengambil peran dengan membentuk dan menyiapkan diri dalam membantu peran wajib Negara, semisal dengan membuat pusat studi pendidikan keluarga yang selanjutnya bisa memberikan edukasi dan pendampingan dalam bentuk coaching-coaching yang bermitra dengan lembaga-lembaga terkait. Kenapa hal ini harus kita lakukan ? 

Keluarga merupakan pusat pendidikan fundamental yang tidak akan lekang oleh zaman dan tidak akan musnah oleh situasi dan keadaan, karena keluarga merupakan pendidik pertama dan utama. Apalagi kalau keluarga berpedoman pada apa yang dicontohkan dan dituntunkan oleh Nabiyullah Muhammad S.A.W, InsyaaAllah secara sadar dan sungguh-sungguh setiap keluarga menyambut problematika kehidupannya lebih-lebih masalah pandemi ini dengan tetap tenang dan terus membangun kebersamaan dalam mengatasi dan menyikapi masalah dunia ini. Secara Lembaga kedua orangtualah yang akan mendesain kurikulum sebagai guiden dalam menjalankan institusi yang dipimpinnya. Orang tua sebagai pengelola lembaga yang akan merancang dan memformat keluarga sakinah mawaddah wa rahmah seperti apa yang menjadi GOAL-nya, Materi apa yang utama diberikan ke keluarga Muslim tidak lain dan tidak bukan adalah akidah yang kuat, agar keluarga menjadi survival, sementara guru dari keluarga tidak lain adalah kedua orang tuanya, dan metode yang akan digunakan disesuaikan dengan masing-masing keluarga, sementara lingkungan utamya adalah semua anggota keluarga. Untuk itulah, perlu suatu model desaign kurikulum yang bisa kita buatkan untuk dijadikan suatu contoh yang memudahkan diterapkan sesuai dengan karakteristik institusi yang fundamental tersebut.  Semoga bisa menginspirasi….!

Berpikir Spiritual Tingkat Tinggi di Tengah Pandemi

Penulis : Lukman Ahmad Irfan

Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Indonesia

Pengasuh Majelis Ya Badi’, Yogyakarta

 

Pandemi Korona memperlihatkan cara berpikir orang Indonesia dalam beragama. Paling tidak terdapat empat kelompok. Pertama, mereka beragama dengan akal hati dan akal logika secara minimalis. Kelompok ini masih memaksakan diri mereka untuk tetap menyelenggarakan kegiatan melibatkan massa di tengah larangan pemerintah. Kedua, kelompok yang beragama dengan sangat memuja akal logika dan menggunakan akal hati dengan minimal. Kelompok ini tetap bekerja di luar rumah namun berhenti melakukan aktivitas beragama di luar rumah.

Ketiga, mereka beragama dengan akal hati penuh tetapi akal logika minimal. Kelompok ini mempunyai ketergantungan sangat kuat kepada para pemimpin agama yang mereka anut. Keempat, kelompok beragama yang mengerahkan akal hati dan akal logika jalan bersama dengan maksimal. Kelompok ini mengikuti anjuran pemerintah dan semaksimal mungkin beribadah di rumah dan peduli pada lingkungannya.

Gambaran sikap beragama orang Indonesia ini bisa ditarik sebagai bahan merumuskan bagaimana pendidikan agama ke depan agar orang-orang Indonesia dapat memaksimalkan dirinya sebagai orang yang beragama dengan mengkombinasikan akal hati dan akal logika. Pemerintah dapat melakukan hal ini tanpa mengurangi sedikitpun Merdeka Belajar yang menjadi garis kebijakan saat ini. Rumusan yang penulis tawarkan adalah dengan Keterampilan Berpikir Spiritual Tingkat Tinggi (KBSTT).

 

Makna KBSTT

KBSTT didasarkan pada firman Allah Swt., “Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS 10:100) dan “Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS 2:269)

KBSTT adalah mengoptimalkan akal logika berpadu dengan akal hati dalam mengharap anugerah hikmah dari Allah Swt. Akal hati berbeda dengan hati sebagaimana digunakan masyarakat umum setiap hari. Akal hati adalah memikirkan pengalaman beramal (vertikal dan horisontal) menjadi rumusan baru sebagai pijakan beramal berikutnya, mengambil pelajaran masa lalu sebagai pijakan berpikir untuk kebaikan atau kemaslahatan masa depan.

Secara teknis, KBSTT menambahkan kebijaksanaan (wisdom) dalam ranah kognitif. Anderson dan Krathwohl (2001) membuat tingkat berpikir: mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Dengan menambahkan bijaksana sebagai tahapan paling tinggi dari tahapan berpikir, maka siswa dan mahasiswa sejak awal terdidik untuk berpikir kemaslahatan umat. Bagaimana menyebarkan hasil pemikiran dapat diterima dengan baik dalam sebuah kebudayaan atau keadaan masyarakat tertentu. 

Berpikir bijaksana demi kemaslahatan bukan berarti melestarikan kondisi lama anti kemajuan. Kebijaksanaan dalam menyebarkan hasil pemikiran atau kreasi lainnya terinspirasi dari ayat “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS 16:125). Cendekiawan muslim ahli tafsir kontemporer, Quraish Shihab dengan apik menafsirkan ayat ini “Pilihlah jalan dakwah terbaik yang sesuai dengan kondisi manusia.” Kebijaksanaan ini sekaligus akan menumbuhkan konsep berpikir yang mempertimbangkan kemerdekaan pihak-pihak lain. Dalam bahasa Jawa ini adalah bener tur pener, benar dan patut.

 

KBSTT sebagai Solusi Masalah Pendidikan Nasional

Ide ini menjadi sangat mendesak kalau dikaitkan dengan masalah dunia pendidikan saat ini. Beragam kegelisahan terdeteksi. Pertama, kegelisahan dalam mendidik generasi bangsa masa depan yang kritis terhadap infomasi dan terhindar dari hoaks. Kedua, kegelisahan terhadap penelitian di perguruan tinggi yang kurang berarti bagi kemajuan negeri. Ketiga, kecenderungan menyebarkan informasi yang benar oleh para cendik pandai tanpa menimbang maslahat dan mudaratnya. Keempat, kegelisahan para guru dalam mengintegrasikan kompetensi inti nilai spiritual ke dalam pembelajaran. 

Kalau KBSTT ini dapat diimplementasikan dengan baik, di pendidikan tingkat dasar dan menengah akan mampu mengikis produksi dan penyebaran hoaks. Di tingkat pendidikan tinggi, akan muncul kreasi-kreasi yang dapat diaplikasikan, bukan hanya karya sebagai karya, namun karya untuk maslahat umat. 

Dalam perspektif lebih besar, kebijaksanaan ini akan menuntun generasi masa depan untuk mampu mengambil pelajaran dari masa lalu, dan bukan mencemooh, menghina atau mengutuknya. Generasi yang bijaksana akan belajar dari masa lalu dirinya, bangsanya, dan negaranya sebagaimana dikatakan para bijak ribuan tahun yang lalu: “Pengalaman adalah guru terbaik.” Ungkapan ini semakna dengan: “Sangat bodoh orang yang terperosok dalam lubang sama.”

Dalam gambaran nyata, generasi yang bijaksana yang ada di masa pandemi Korona ini, menunjukkan diri yang mampu menimbang kanan-kiri, mengambil keputusan tidak menuruti pikiran sendiri, bersikap rendah hati, dan berperilaku sesuai tuntunan Ilahi. Wallahualam.