Penulis : Ahmad Zubaidi
Dosen PAI-FIAI UII
Objek Materil
Tradisi tahlilan yang terjadi dalam masyarakat di Indonesia menuai ancaman keras dan pahit dari sekelompok golongan yang tidak pernah mengenyam studi ke-Islaman di dunia akademik. Menurutnya, tahlilan adalah sesuatu yang sesat, bid’ah, tidak ada syariat dari Nabi, dan siapa yang melakukannya akan masuk ke jurang Neraka – entah neraka pada derajat berapa – yang tidak bisa terbantahkan. Mereka berargumentasi karena tahlilan itu memberatkan (unsur paksaan), mengundang akses negative (harta)[1], juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Jarir ibn Abdulloh al-Bajally bahwa tahlilan merupakan nihaayah (meratapi mayit).[2]
Pada kenyataan nya, masyarakat muslim Indonesia, mayoritasnya adalah penganut Islam bermadzhab ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Dari total sekitar 85% umat Islam Indonesia, 80% diantaranya penganut paham sunn, yang acuan keagamaannya adalah pada generasi al-salaf al-salih yakni generasi zaman Nabi sampai generasi abad ke-3 Hijriyyah. Lebih dari separuh dari 80% penganut sunni adalah mereka yang bermadzhab sunni tradisionalis, dimana ia lebih longgar akomodatif dalam aplikasi tradisi keagamaan dikaitkan dengan tradisi ke-Indonesiaan.[3] Dan mereka semua bertahlil (tahlilan). Kenyataannya – dari segi naqliyyah – banyak juga hadits Nabi yang berpendapat dengan tahilan ini. Salah satunya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa’id al-Khudhory menyatakan bahwa berkata Rosululloh SAW, “bacakanlah orang-oeang yang mati diantara kamu kalimat laa ilaaaha illa Alloh”.
Tahllilan itu sendiri – dari segi Bahasa – diambil dari kata hallala – yuhallilu – tahlilan yang memiliki makna mengucapkan lafadz laa ilaaha illa Alloh, bukan hanya itu, tetapi QS. Yasin, tasbih, tahmid, sholawat, dan biasanya di tutup dengan do’a do’a tertentu.[4] Ia dibaca biasanya pada sanak keluarga yang sudah meninggal dunia agar dosa nya diampuni oleh Alloh SWT, diterima amal ibadahny, ditempatkan nya ia di surgaNya dll, ada juga untuk motiv selamatan ketika missal sewaktu pindah rumah yang baru agar diberkahi, mungkin juga ada untuk motiv kelahiran anak, yang dibarengkan dengan aqiqah, serta masih banyak lagi motiv untuk pelaksanaan tahlilan di masyarakat.[5]
Objek Formal
Penulis disini akan menganalisis tahlilan tersebut dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Sosiologi adalah ilmu yang menawarkan pemahaman interpretative terhadap tindakan sosial yang dengannya dapat menyediakan penjelasan sebab akibat dari fenomena sosial. Kita harus menyebut perilaku sebagai tindakan sejauh itu berkaitan dengan makna subjektif yang berikan individum baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Tindakan adalah sosial sejauh makna subjektifnya melibatlkan perilaku dengan yang lain dan oleh karenanya, diorienasikan untuk tindakan tersebut. Dengan konsep makna subjektif, sosiologi dapat memahami orientasi, motivasi, dan penyebab dari tindakan yang dilakukan individu meskipun motif tersebut tak bisa diobservasi.[6] Sedangkan menurut max weber ia berorientasi pada motif dan tujuan pelaku, sehingga kita dapat memahami perilaku setiap individu maupun kelompok bahwa masing-masing memiliki motif dan tujuan berbeda pada sebuah tindakan yang ia lakukan, serta tipe – tipe perilaku tindakan setiap individu maupun kelompok. Sebagaimana yang diungka oleh Weber, cara terbaik untuk memahami berbagai kelompok adalah menghargai bentuk-bentuk tipikal tindakan yang menjadi ciri khasnya. Sehingga kita dapat memahami alasan-alasan mengapa warga masyarakat tersebut bertindak.[7]
Ada 4 cara max Weber melakukan klasifikasi yaitu pertama, Tindakan tradisional, yaitu tindakan yang ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang sudah mengakar secara turun-temurun. Kedua, Tindakan Afektif, yaitu merupakan tindakan yang ditentukan oleh kondisi-kondisi dan orientasi-orentasi emosional si actor. Ketiga, Rasionalitas Instrumental, adalah tindakan yang ditujukan pada pencapaian tujuan-tujuan yang secara rasional diperhitungkan dan diupayakan sendiri oleh actor yang bersangkutan. Keempat, Rasionalitas Nilai, yaitu tindakan rasional berdasarkan nilai, yang dilakukan untuk alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang ada kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini secara personal tanpa memperhitungkan prospek-prospek yang ada kaitannya dengan berhasil atau gagalnya tindakan tersebut.[8]
Analysis
Pertama, Tindakan Tradisional, menurut teori ini tahlilan tujuan nya adalah melestarikan apa yang telah dilakukan ulama pada zaman dahulu. Menjaga tradisi dari apa yang telah ulama dan para wali pada zaman dahulu lakukan.
Kedua, Tindakan Afektif, menurut teori ini tahlilan adalah tindakan masyarkat dengan kondisi dimana mereka butuh dengan itu. Sudah tertanam didalam trasidisinya jika tidak melakukan tahlilan maka akan terjadi hal yang tidak di inginkan. Serta orientasi mereka kepada berkah yang diwujudkan dengan memberikan sebuah makanan pada akhir tahlilan ketika mau menjelang pulang.
Ketiga, Rasionalitas Instrumental, tahlilan adalah sesuatu yang sangat mudah sekali dilakukan dimasyarakat. Bahkan jamuan yang ada melebihi jamuan yang mereka buat pada waktu-waktu yang lain. Bahkan tadi sudah dikatakan, pertama kali masyarakat dating akan diberi snack kecil dan minuman, kedua setelah tahlilan selesai dibacakan ia akan diberi makan, ketiga ketika akan pulang, masih diberi lagi berkat yang berisi makanan dan snack bahkan biasanya berisi juga di dalamnya amplop yang berisi uang dengan nominal tertentu. Itu mwerupakan bentuk wujud rasa syukur mereka atas terimakasih kepada mereka yang sudah mau datang dan tahlilan ditempatnya.
Keempat, Rasionalitas Nilai, tahlilan akan memberikan dampak nilai yang sangat banyak, disana tempat berkumpulnya orang-orang dari semua golongan. Silaturahmi akan terjadi disana, hubungan kekeluragaan antara individu akan tercapai disana. Penguatan nilai-nilai ibadah, yang dirumah tidak membaca dzikir, maka dengan tahlilan ia lantas berdzikir bersama-sama dengan kekhusyu’an masing-masing. Nilai persamaan derajat, semua yang hadir dalam acara tersebut akan bernilai sama kodratnya sebagai manusia.
[1]Harry Yuniardi, Santri NU Menggugat Tahlilan, (Bandung: Mujahid, 2007), cet-11, h. 17.
[2]Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, dalam al-Maktabah al-Syamilah, edisi ke-2, juz. 14, 1999, h. 149.
[3]Muhammad Sholihin, Ritual Kematian Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), cet-1, h. 12.
[4]Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Dzikir, (Bogor: Cahaya Salam, 2008), cet-1, h. 105.
[5]Ibid, h. 106.
[6]Diambil dari web, http://sosiologis.com/tindakan-sosial pada 07 Oktober 2019
[7]Pip Jones, Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme, (terj.) Saifuddin, (Jakarta: Pustaka Obor, 2003), h. 115.
[8]Bryan S. Turner, Teori Sosial Dari Klasik Sampai Postmodern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 115.