Kurikulum MBKM dan Masa Depan PTI

Penulis : Edi Safitri

Dosen PAI- FIAI UII dan Direktur Pusat Studi Islam UII

 

Sentuhan Awal 

Kurikulum Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka (selanjutnya disingkat MBKM) dalam dua tahun terakhir telah menjadi wacana tersendiri yang menyedot perhatian semua orang yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan. Meskipun keampuhan konsep MBKM sendiri belum terbukti, karena memang masih dalam proses implementasi sehingga memerlukan waktu pengujian, tetapi riuhnya pembicaraan mengenai MBKM ini luar biasa. Demikian riuhnya seolah-olah ia menjadi “agama” baru dalam dunia pendidikan nasional. Sebagai “agama” baru, orang merasa kurang afdhol bila tidak cawe-cawe mendiskusikan MBKM ini.  

Sebenarnya pro kontra tentang suatu kebijakan pemerintah sudah menjadi hal yang sangat lazim di Indonesia terlebih terkait persoalan Pendidikan nasional. Persis yang terjadi saat ini ketika kebijakan MBKM diputuskan; mulai kebijakan MBKM yang tidak berkesinambungan dengan kebijakan pendahulunya; tanpa dilandasi evaluasi menyeluruh atas kebijakan yang lama dan sebagainya. Sudah menjadi pengetahuan bersama di Indonesia setiap pergantian menteri selalu diikuti  pergantian kebijakan. Penulis mencatat, setidaknya kita pernah mengalami 11 kali perubahan kurikulum. Sebut saja belakangan kita pernah memiliki Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK; 2004), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP,2006), Kurikulum 2013. Masing-masing kebijakan mengundang pro dan kontra dan perdebatannya sekitar topik di atas tadi. Tidak lebih.   

 Lalu apa yang menarik dari MBKM yang digagas mas Nadiem, menteri pendidikan kita kali ini? Menurut penulis yang menarik dari gagasan MBKM ini adalah bahwa secara konseptual MBKM mencoba masuk pada ranah paradigmatik dan sangat mendasar yang selama ini menjadi problem serius dalam dunia pendidikan kita. Hal inilah yang membuat banyak orang cawe-cawe mendiskusikannya, tidak terkecuali penulis sendiri.  

 

  • Tentang MBKM      

Secara sederhana MBKM sering diartikan sebagai bentuk pemberian kebebasan secara otonom kepada lembaga pendidikan dan merdeka dari birokrasi yang berbelit dan kebebasan bagi mahasiswa memilih program yang diinginkan. (Kemndikbud RI, 2020: 34). MBKM itu sendiri merupakan kelanjutan atau bagian dari kebijakan Merdeka Belajar. Kampus Merdeka ditujukan untuk lingkup Perguruan Tinggi (PT) yang bertujuan memberikan kesempatan  mahasiswa mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat dengan terjun langsung ke dunia kerja sebagai persiapan karier masa depan. Tujuan utama yang hendak diraih adalah terciptanya kultur lembaga pendidikan yang otonom, tidak birokratis, dan terciptanya sistem pembelajaran yang inovatif berbasis pada peminatan dan tuntutan dunia modern.

Tampaknya latar dibalik gagasan MBKM ini sedikit banyak dipengaruhi oleh realitas perkembangan dunia saat ini. Perkembangan dunia modern yang demikian pesat saat ini telah memunculkan tantangan serius tidak terkecuali bagi mahasiswa. Era 4,0 dan 5.0 sebagai capaian dari dunia modern berdampak sangat kompleks di setiap aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal pendidikan. Era ini ditandai dengan sentralnya peran teknologi dan informasi. Era 4.0 melahirkan pendidikan 4.0, konsep ini muncul karena adanya persyaratan keterampilan yang berubah akibat tuntutan era 4.0. Pendidikan 4.0 dikenal sebagai inovasi yang memiliki ciri pada student centered.

Era tersebut  memaksa dunia pendidikan harus pula berubah. Bagi Nadiem MBKM merupakan jawabannya. Melalui MBKM tidak hanya mengembangkan mahasiswa berpengetahuan luas, tetapi juga mampu membuat pola pikir baru yang sigap merespon tantangan, mengembangkan kreativitas serta inovasi di berbagai aspek kehidupan. Melalui \MBKM ia yakin mahasiswa mampu eksis. Hal ini setidaknya tercermin dari pernyataannya bahwa PT memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan SDM unggul. Untuk menghadapi tantangan dunia kerja, diperlukan peningkatan kualitas lulusan S1 di Indonesia. Cara yang bisa dilakukan yaitu dengan mendukung kolaborasi antara universitas dengan berbagai pihak di luar kampus untuk menciptakan prodi-prodi baru. MBKM diharapkan bisa menjadi katalis bagi terbentuknya link-and mach, kultur pendidikan tinggi yang dekat dengan realitas dan berpartisipasi aktif sekaligus sebagai bagian dari solusi permasalahan di masyarakat. Selama ini problem utama bagi lulusan perguruan tinggi adalah pada rendahnya lulusan perguruan tinggi terakses dunia kerja dikarenakan ketidaksiapan para lulusan memenuhi tuntutan skill dunia kerja. (kemendikbud.go.id.)

Harus diakui bahwa MBKM  menawarakan landasan pendidikan yang menurut  penulis berbeda dan lebih kongkrit, jika dibandingkan dengan era sebelumnya; baik pada level filosofis sampai  landasan pragmatisnya. Hal tersebut misalkan tercermin dari tujuan utama kebijakan MBKM yang meliputi: 1) pembukaan program baru. Kebijakan ini didasarkan pada Permendikbud No. 7 thn 2020 tentang pendirian, perubahan, pembubaran PT Negeri dan swasta. 2) Sistem, akreditasi perguruan tinggi didasarkan pada Permendikbud No. 5 tahun 2020 tentang Akreditasi Perguruan Tinggi 3)Kebebasan menjadi PTB -BH didasarkan pada Permendikbud No. 4 thn 2020 tentang perubahan PTN menjadi PTN BH & No. 6 tahun 2020 tentang penerimaan mahasiswa baru program sarjana dan PTN dan terakhir 4) hak belajar 3 semester di luar program studi didasarkan pada Permendikbud No.3 tahun 2020 tentang Standard Nasional Perguruan Tinggi.

Keempat tujuan tersebut, menawarkan terobosan yang tidak hanya komprehensif, namun juga kuat secara filosofis.  Di tengah karut marut dunia pendidikan nasional di berbagai aspek, kebijakan ini seperti oase yang memberikan harapan baru terjadinya perubahan arah pendidikan nasional. Apa lagi selama tiga dasawarsa nyaris tidak ada perdebatan paradigmatik tentang arah pendidikan nasional, kecuali perdebatan pada hal-hal yang tidak esensial dan parsial misalkan tentang anggaran pendidikan yang kecil dan minim mengkaji tentang pardigma dan sistem pendidikan nasional.

 

Pijakan Filosofis yang Kuat

Secara ontologis misalkan tercermin dari disain kurikulumnya yang didasari dan berorientasi pada relevansi pendidikan dengan dunia kerja (link and mach). Selama ini konsep kalah bersaing dalam dunia kerja menjadi problem yang dihadapi pendidikan nasional. Dunia Pendidikan selama ini gagal membaca kebutuhan dunia kerja. Sangat mungkin fenomena pengangguran terdidik tidak disebabkan oleh kualitas pendidikan yang menurun, melainkan karena faktor kemajuan ilmu dan teknologi yang demikian pesatnya yang tidak mampu direspons secara tepat oleh dunia pendidikan. MBKM yang dicanangkan Nadiem ini sangat menekankan pada relevansi keduanya. Dengan demikian tamatan PT mampu memiliki skill yang releven dengan dunia kerja sehinga mereka memiliki kualifikasi bersaing dalam dunia kerja yang tersedia. 

Dari sudut epistemologi tercermin di antaranya dari sumber belajar yang tidak lagi bersumber dari dosen sebagai sumber belajar satu satunya melainkan ditekankan pada berdiskusi yang dialogis, kegiatan praktik lapangan yang akan dikonversi menjadi SKS, eksplorasi pengetahuan dan kemampuan di lapangan selama lebih dari satu semester, memperluas jaringan di luar program studi atau kampus asal, belajar dari mitra yang kompeten dan terkemuka dan sebagainya.  Berdasarkan permendikbud Nomor 3 tahun 2020 tentang standard nasional pendidikan tinggi, perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa secara sukarela mengambil SKS di luar perguruan tinggi sebanyak 2 semester yang setara dengan 40 SKS di tambah lagi mahasiswa diperkankan mengambil matakuliah di prodi yang berbeda dalam PT yang sama sebanyak 21 Semeseter (setara dengan 20 SKS). Oleh sebab itu PT harus memfasilitasi pelaksanaan pemenuhan masa dan beban belajar mahasiswa dalam proses pembelajaran dengan pilihan alternatif. Adapun ragam bentuk pembelajarannya merdeka belajar seperti magang, praktik Industri, proyek desa, pertukaran pelajar, riset, wirausaha, studi atau proyek independen, kerja kerja kemanusiaan, dan terakhir mengajar di sekolah. 

Dari sudut aksiologinya dapat dibaca dari model pembelajaran kampus merdeka yang menekankan kebebasan belajar seperti kebebasan berinovasi untuk belajar secara mandiri; membentuk kecakapan kerja atau berwirausaha; menekankan dosen yang inovatif dan kreatif dalam mengajar berbasis pengalaman;   merespons tuntutan perkembangan hal ini terkait misalkan upaya PT/ sekolah  menanamkan lifelong learning capacity sebagai tema sentral revoluasi industri 4.0; mentransformasikan kurikulum sekolah sesuai regulasi. Oleh sebabnya poin penting dari kebijakan Kampus Merdeka yang sudah dirancang adalah dua hal yaitu, otonom dan bahagia. Otonom untuk semua komponen pendidikan; dosen, mahasiswa ataupun institusi PT itu sendiri. Bahagia yaitu bagaimana para dosen, mahasiswa, serta orang tua bisa mendapat suasana yang bahagia dan jauh dari ketertekanan. Mahasiswa dapat berdiskusi lebih dengan dosennya, belajar di luar kelas, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter mahasiswa yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, berkompetensi, dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja, sebab setiap anak memiliki bakat kecerdasan menurut bidang masing-masing. Sehingga dengan disain pembelajaran demikian melahirkan mahasiswa yang siap kerja, kompeten namun juga berbudi luhur di tengah masyarakat. 

Untuk itu pembelajaran harus menghadirkan suasana bahagia tanpa dibebani  pencapaian skor atau nilai tertentu. Selain itu juga terdapat unsur pragmatisnya yaitu PT wajib memberikan hak bagi mahasiwa mengambil ataupun tidak SKS di luar kampusnya dan prodi lain. Konsekuensinya sistem pengajaran akan berubah. Jika sebelumnya monoton di dalam kelas menjadi di luar kelas. Semua itu merupakan jawaban dari problem Pendidikan yang selama ini banyak disuarakan. Tampaknya Nadiem mencoba memberikan solusi  lewat MBKM. Tentu saja MBKM memberikan harapan besar  khususnya bagi Perguruan Tinggi Islam (PTI), baik negeri ataupun swasta untuk mempercepat mengembangkan diri. Harus diakui, selama ini PTI menghadapi banyak problem yang tak kunjung terselesaikan. Sebut saja  ketidakmampuan PTI melahirkan mahasiswa yang tidak hanya memiliki kompetensi spiritual dan agama yang baik, namun juga dituntut melahirkan ummat yang uggul secara intelektual dan professional; siap bersaing dalam dunia kerja.

Umumnya PTI hanya membidik satu sisi saja di antara ilmu agama dan ilmu umum. Ini tentu menjadi ironi tersendiri terlebih melihat bagaimana sejarah peradaban islam, pendidikan Islam klasik mampu melahirkan sosok yg memiliki kematangan kedua ilmu tersebut. Belum lagi persoalan kurikulum yang belum mampu mengelaborasi kurikulumnya dengan isu-isu global. Sehingga tidak jarang ummat gagap, ketika menghadapi berbagai isu-isu kontemporer. Kemajuan teknologi yang demikian pesat juga memunculkan problem tersendiri bagi PTI. Alumni tidak memiliki kecakapan memadai, ketika memasuki dunia kerja, dikarenakan kompetensi PTI hanya masih sebatas pada bidang agama dan belum menyentuh ilmu di luar agama. Dan lain sebagainya.  

Kemampuan menyikapi tantangan zaman sangat menentukan; apakah sebuah perguruan tinggi termasuk PTI dapat tetap kompetitif atau kehilangan pasar dan gulung tikar. Tantangan yang nyata di era teknologi yang demikian pesat memaksa PT menerapkan keilmuannya dengan mengedepankan prinsip efesiensi, memperhitungkan setiap resiko dan kemampuannya mempridiksi tantangan dan tren ke depan (Mukhsinudin, 2021). MBKM yang menekankan pada kebebasan berfikir dan otonomi kepada kampus dari berbagai macam bentuk birokrasi; dosen dibebaskan dari birokrasi yg berbelit dan mahasiswa diberi kebebasan memilih bidang yg disukai, mendorong mahasiswa menguasai berbagai bidang ilmu yang berguna memasuki dunia kerja tentu sangat strategis bagi PTI menyelesaikan problem-problem yang selama ini dihadapi. 

 

Problem Implementasi kebijakan MBKM

  Meski secara konseptual MBKM ini sangat ideal, langkah dan tahapan implemntasinya masih abstrak. MBKM menekankan adanya kemerdekaan dan keleluasaan PT mengeksplorasi secara maksimal kemampuan dan potensi yang dimiliki mahasiswa yang secara kodrati memiliki keunikan masing-masing. Bagaimana gagasan tersebut diimplementasikan di tengah realitas sistem pembelajaran yang berlangsung masih terpusat pada guru/dosen dengan metode indoktrinasi. Meminjam istilah Freire pendidikan bergaya bank. Tentu praktik pembelajaran yang  sudah berlangsung lama tersebut tidak mudah diubah. Apakah MBKM secara rinci sudah mempertimbangkan problem kesiapan institusi dan SDM yang tersedia? 

Problem selanjutnya adalah mekanisme kolaborasi perguruan tinggi dan program studi dengan pihak luar. Secara teoritis konsep MBKM sangat ideal. Dengan kolaborasi diharapkan akan terjadi hubungan yang simbiotik namun pada tataran implementasi tentu tidak mudah. Tidak semua lembaga jasa, industry atau perguruan tinggi besar, terakreditasi A bersedia berkolaborasi dengan perguruan tinggi swasta kecil yang belum terakreditasi. ini menjadi masalah besar bagi PT kecil jika kebijakan MBKM belum mengatur sampai pada wilayah teknis tersebut. 

 

  • Sentuhan Akhir

Kebijakan MBKM yang digagas oleh Kemendikbud  tidak hanya visioner namun juga ideal. Ditinjau secara ontology, epistemology dan aksiologi sesungguhnya menjadi jawaban atas karut-marutnya dunia pendidikan selama ini. Kehadiran MBKM seolah menjadi harapan baru. Namun pada tataran implementatif khususnya terhadap empat kebijakan utama yaitu; kemerdekaan berfikir, pembukaan program studi baru, system akreditasi PT, kebebasan menjadi PNBH dan hak belajar mahasiswa 3 semester di luar prodinya, masih menjadi persoalan, khususnya bagi PTI yang masih kecil atau belum terakreditasi Ketika berhadapan dengan PT besar yang sudah terakreditasi. Tidak semua kampus atau dunia industri bersedia menjalin kerja sama dengan kampus kecil. Sementara MBKM belum merumuskan Langkah – langkah teknis bagaimana mengimplementasikan kebijakan MBKM tersebut. Oleh sebabnya mendesak untuk dirumuskan aturan dan mekanisme yang detil untuk menyelesaikan problem-problem yang bakal terjadi  di lapangan khususnya ego antar institusi. Jika tidak maka MBKM yang ideal, nasibnya akan berakhir seperti konsep kurikulum yang dicanangkan oleh kembdikbud terdahulu, bagus di atas kertas, tapi tidak mampu terimplemntasikan secara baik. Terlepas dari kekurangan MBKM gagasan visioner Nadiem patut diapresiasi sebagai trobosan untuk perubahan dunia pendidikan kita menjadi lebih baik lagi. Wassalam

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*